Tetirah: Dua Langit di Dalam Kepalaku | by bbluesaturnn | Oct, 2025

Aku berangkat ketika kota masih belum sepenuhnya terjaga. Langit menggantung rendah, seolah menahan tangisnya sendiri. Di luar jendela bus, bayangan gedung-gedung berlalu seperti potongan mimpi yang belum selesai. Aku duduk di kursi paling belakang, membawa koper kecil dan selembar surat izin dari kantor dengan alasan formal untuk sesuatu yang jauh lebih rumit “Aku hanya ingin diam.”
Beberapa orang menyebutnya tetirah. Istirahat, penyembuhan, atau pelarian yang aku sendiri belum tahu yang mana. Aku hanya tahu, ada sesuatu di kepalaku yang retak. Dua langit yang saling bertabrakan setiap kali aku mencoba bernapas. Yang satu terang dan keras kepala, sedangkan yang satu redup dan tak henti-henti menenggelamkanku.
Kota itu tak pernah benar-benar tidur. Dari jendela apartemenku di lantai delapan, kulihat lampu-lampu menyalakan dirinya sendiri setiap malam, seolah takut gelap. Jalanan basah oleh hujan yang datang tanpa aba-aba, dan suara klakson menyusup sampai ke kamar, mengisi celah di antara nafasku.
Aku duduk di meja kerja dengan mata yang buram oleh cahaya layar. Email menumpuk. Tenggat berbaris seperti pasukan kecil yang siap menyerbu. Aku mengetik, menghapus, mengetik lagi, lalu berhenti karena jari-jariku gemetar tanpa alasan yang bisa diterangkan.
Kadang aku berpikir, “Mungkin aku bukan manusia yang rusak, hanya manusia yang terlalu peka pada dunia yang bising.” Tapi dunia tak pernah menunggu mereka yang lambat sembuh.
Teleponku berdering. Suara seseorang di ujung sana menanyakan revisi, meminta kejelasan, mengingatkan janji yang tak pernah kubuat. Aku menjawab dengan nada datar, berusaha terdengar waras. Setelahnya, aku menatap bayangan wajahku di layar laptop. Mataku kosong, pipiku cekung, dan senyumku terasa seperti sesuatu yang dulu pernah kupelajari tapi kini lupa caranya.
Malam itu aku menulis sesuatu untuk diriku sendiri, satu kalimat yang tak jadi-jadi “Aku baik-baik saja.” Namun jari-jari itu tak sanggup menekan titik terakhirnya.
Ada dua langit yang tumbuh di kepalaku. Yang satu penuh cahaya, menjerit agar aku tetap bergerak. Yang satu lain gelap dan sunyi, memintaku berhenti. Aku hidup di antara keduanya, terombang-ambing tanpa tahu ke mana harus berpihak.
Ketika pagi tiba, aku memesan tiket ke tempat yang tak pernah kudengar namanya. Sebuah rumah kecil di pegunungan, tempat orang-orang datang untuk menyembuhkan diri. Aku tidak tahu apa yang akan kusembuhkan, tapi mungkin, di bawah langit yang lain, aku bisa belajar mendengar diriku sendiri lagi.
Perjalanan menanjak itu seperti menulis ulang caraku bernapas. Setiap tikungan menyingkirkan sedikit demi sedikit sisa kota dari tubuhku. Asap knalpot berubah menjadi embun, klakson berganti dengan kokok ayam yang entah dari mana. Ketika bus berhenti di terminal kecil di kaki bukit, aku turun dengan langkah pelan seolah takut mengganggu udara yang terlalu tenang.
Rumah tetirah itu berdiri di antara ladang teh dan kabut. Cat temboknya mulai pudar, tapi jendelanya terbuka lebar seperti ingin memeluk siapa pun yang datang. Seorang perempuan tua menyambutku dengan senyum tanpa tanya. Ia hanya berkata, “Di sini, kita belajar diam lebih dulu.” Aku mengangguk. Kata-kata terasa terlalu berat untuk dibawa masuk.
Hari-hari pertama terasa aneh. Tidak ada suara notifikasi, tidak ada jam yang berdering. Hanya langkah-langkahku sendiri, suara serangga, dan angin yang melintasi dedaunan. Setiap pagi aku duduk di beranda, menatap langit yang kadang biru, kadang kelabu, layaknya dua warna yang bertengkar tanpa suara, seperti isi kepalaku sendiri.
Malam hari, aku menulis di buku kecil. Bukan laporan, bukan rencana kerja, hanya serpihan kata yang jatuh dari pikiranku.
“Ada yang ringan di udara pagi ini. Mungkin karena aku tak menunggu siapa pun, mungkin karena aku belajar menunggu diriku sendiri. Aku melihat embun menggantung di daun teh, dan matahari yang malu-malu membelah kabut. Mereka tak bicara apa-apa, tapi aku paham bahwa diam pun bisa menjadi bahasa.”
Aku menutup buku itu, menyandarkan kepala ke kursi bambu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku tidak merasa dikejar. Mungkin ini rasanya tenang atau setidaknya, jeda di antara dua ketegangan yang belum selesai.
Hari-hari berikutnya berjalan dengan lambat. Aku mulai mengenal aroma tanah setelah hujan, suara ayam yang sama setiap subuh, langkah perempuan tua yang menyapu halaman tanpa tergesa. Di tempat ini, waktu tidak berjalan ke depan, ia hanya berputar pelan, seolah memberiku kesempatan untuk bernapas di antara detik-detik yang biasanya kulalui dengan cemas. Namun ketenangan selalu rapuh ketika dibangun dari luka yang belum disembuhkan.
Aku terbangun satu malam karena hujan terlalu deras. Suara air di atap seperti detak jantung yang tak mau berhenti. Ada sesak yang tiba-tiba muncul di dadaku tanpa sebab, tanpa peringatan. Aku menyalakan lampu, duduk di tepi ranjang, menatap dinding yang diam seperti menatap cermin yang tak mengerti. Aku mengambil buku catatanku.
“Mereka bilang, hujan itu penawar. Tapi mengapa setiap tetesnya menambah berat di dadaku? Mungkin karena aku belajar tersenyum lebih dulu, sebelum sempat menangis dengan benar. Aku ingin tidur lama-lama, tapi bahkan mimpi pun menolak datang. Dunia terasa jauh, dan aku merasa lebih. jauh lagi. Aku menulis ini karena diam saja terasa lebih sakit.”
Aku menutup buku itu dengan tangan gemetar. Malam itu aku tahu, ketenangan yang kucari bukan tentang tempat yang sunyi, tapi tentang kepala yang tak lagi berisik. Tapi bagaimana cara menenangkan langit yang terus berubah warna di dalam diriku?
Beberapa hari kemudian, aku berhenti menulis. Aku hanya duduk di depan jendela, menatap kabut yang tak kunjung naik. Perempuan tua itu sesekali datang membawakan teh. Ia tak banyak bicara. Hanya duduk bersamaku, dalam diam yang anehnya terasa menenangkan.
“Kadang, yang kita lawan bukan dunia di luar,” katanya pelan. “Tapi dunia yang kita simpan terlalu lama di dalam.”
Aku ingin bertanya apa ia juga pernah merasakannya, tapi tak ada kata yang keluar. Aku hanya mengangguk.
Malam-malam berikutnya jadi gelap. Aku kehilangan jam tidur, kehilangan selera makan, kehilangan arah dalam pikiranku sendiri. Setiap hal kecil terasa seperti beban yang menindih dada. Aku menulis lagi, bukan untuk mencari jawaban, tapi karena aku takut hilang kalau berhenti menulis.
“Aku sudah lupa kapan terakhir kali tertawa karena alasan yang sederhana. Semua kebahagiaan terasa seperti topeng yang terlalu rapat menempel di wajahku. Aku takut orang tahu bahwa aku sedang hancur, karena mereka akan mencoba memperbaiki sesuatu yang bahkan tidak mereka mengerti. Aku ingin berhenti merasa bersalah karena lelah. Tapi bahkan rasa bersalah itu kini jadi satu-satunya yang membuatku tetap merasa hidup.”
Setelah menulis itu, aku menangis lama sekali. Bukan karena sedih, tapi karena akhirnya aku membiarkan tubuhku mengeluarkan sesuatu yang selama ini kusimpan. Ada rasa lelah yang menetes bersama air mata dan entah kenapa, rasanya seperti doa.
Aku tak tahu berapa lama waktu berlalu setelah itu. Hanya ingat satu pagi, ketika aku bangun dan tidak merasa ingin apa-apa. Tidak juga ingin pergi. Hanya duduk diam, mendengar angin melewati jendela. Dan untuk pertama kalinya, tidak ada pertempuran di kepalaku. Dua langit itu masih ada, tapi mereka seperti sedang beristirahat. Aku membuka buku catatanku sekali lagi. pena terasa lebih ringan hari itu.
“Ada yang pulang tanpa langkah, ada yang sembuh tanpa suara. Aku mungkin keduanya. Di kepalaku, dua langit masih bercakap, tentang gelap yang belajar mencintai terang, tentang terang yang belajar memahami sepi. Mereka tak lagi berperang. Mereka duduk berdampingan, seperti dua teman lama yang akhirnya mengerti bahwa tidak ada yang perlu dimenangkan. Aku menatap ke atas, dan untuk pertama kalinya, langit tidak membelahku dua, ia memelukku bulat-bulat, seperti rumah.”
Hari terakhir di rumah itu datang tanpa pamit. Kabut pagi terasa lebih tipis, udara lebih ringan, dan burung-burung yang dulu jarang terlihat kini beterbangan di atas kebun teh. Perempuan tua itu mengantarkan aku sampai pagar. Tangannya menggenggam pergelangan tanganku sebentar, hangat dan ringan.
“Jangan lupa,” katanya, “bahkan langit pun punya waktunya sendiri untuk cerah.”
Aku mengangguk, tapi tidak menjawab. Karena aku tahu, mungkin nanti akan ada hari-hari ketika dua langit itu kembali bertabrakan. Mungkin aku akan kembali menangis tanpa sebab, atau ingin bersembunyi lagi dari dunia. Tapi aku juga tahu satu hal, “Kali ini, aku tahu cara memeluk diriku sendiri.”
Bus yang kutumpangi melaju perlahan menuruni bukit. Pohon-pohon berganti dengan rumah, rumah berganti dengan gedung, dan udara yang dingin berubah lagi menjadi hangat berdebu. Di jendela, bayangan wajahku menatap balik. masih dengan mata yang sama, tapi kali ini lebih hidup.
Sesampainya di kota, aku berjalan kaki menuju apartemenku. Langit di atas tidak biru sempurna. Tidak juga kelabu. Ia seperti hasil perundingan dua warna yang akhirnya sepakat untuk berdamai.
Aku tersenyum kecil. Dalam diriku, dua langit itu masih ada, masih berbeda, masih bergantian mendominasi. Tapi kini aku tahu, keduanya adalah bagian dari rumah yang sama dan kadang, tidak apa-apa bila rumah itu bernama aku.
Sudah lewat tiga bulan sejak Biru meninggalkan rumah kayu itu, tempat yang menjadi saksi bagi dua langit di dalam kepalanya. Satu langit yang penuh cahaya lembut dan satu lagi yang kelabu dan tak bersuara. Kini, ia telah kembali ke kota. Namun langkahnya tak lagi terburu. Ia berjalan seperti seseorang yang telah mengenal kembali napasnya sendiri.
Setiap pagi, Biru menyalakan teko air dan membiarkan bunyinya memenuhi ruangan kecilnya. Ia tidak lagi terburu-buru menulis, tidak juga memaksa dirinya untuk “baik-baik saja.” Ia hanya duduk, menatap uap teh yang menari perlahan di udara, lalu tersenyum pada keheningan yang dulu terasa menakutkan.
Kadang, ia masih merasa sesak tanpa alasan. Ada pagi-pagi di mana kepalanya seperti terbelah lagi, satu bagian berteriak, satu lagi diam. Tapi kali ini, ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia tidak melarikan diri. Ia membuka jendela, membiarkan udara pagi menyentuh wajahnya, dan berkata dalam hati, “Ini juga akan berlalu.”
Ia menulis lagi, tapi bukan untuk melarikan diri dari pikirannya. Ia menulis untuk menemani dirinya yang sedang belajar berdamai. Tulisannya tidak seindah dulu, mungkin. Tidak lagi penuh kata-kata besar atau metafora yang tajam. Tapi setiap barisnya hangat, seperti obrolan yang pelan dengan diri sendiri.
“Hari ini aku tidak hebat, tapi aku hadir.”
“Hari ini aku tidak cerah, tapi aku bernapas.”
Ada sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya, bukan kebahagiaan yang berlebihan, melainkan penerimaan. Ia mulai mengerti bahwa sembuh bukan berarti tidak lagi sedih, melainkan mampu menatap sedih tanpa menolak kehadirannya.
Di sore-sore yang sepi, Biru sering kembali membuka catatan dari hari-harinya di tetirah. Tulisannya bergelombang, kadang kacau, tapi setiap kata di sana adalah saksi perjuangan. Ia tidak ingin melupakan tempat itu. Ia tahu, di sanalah ia pertama kali benar-benar duduk bersama dirinya sendiri tanpa takut akan suara di kepalanya.
Kadang ia berpikir, mungkin tidak ada istilah “sembuh” untuk hal seperti ini. Yang ada hanyalah hidup bersama yang tak bisa disembuhkan, dengan cara yang lebih lembut, lebih manusiawi.
Malam ini, Biru menulis lagi. Di antara lampu redup dan aroma teh melati, ia menuliskan satu kalimat di ujung halaman terakhir buku catatannya.
“Aku bukan dua langit lagi. Aku adalah udara di antaranya yang belajar mengalir, pelan, tapi pasti.”
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Biru merasa ringan. Tidak bahagia yang meledak, tapi tenang yang akhirnya menetap.