Tetirah: Di Antara Dua Langit. Aku menulis ini di meja kayu menghadap… | by bbluesaturnn | Oct, 2025

1759977503 bc1f8416df0cad099e43cda2872716e5864f18a73bda2a7547ea082aca9b5632.jpeg

Di hari kedua, aku bangun sebelum matahari naik. Kabut masih menggantung di atas tanah, tapi cahaya pagi menembusnya perlahan. Aku membuat kopi, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, aku merasa ingin berbicara, meski hanya pada diri sendiri.

Di halaman belakang rumah, ada kebun kecil yang tampak terlantar. Aku mulai membersihkannya, mencabut rumput liar, menggemburkan tanah. Jemariku berlumur tanah, tapi hatiku terasa ringan. Aku bahkan tertawa kecil ketika seekor kupu-kupu hinggap di lengan. Rasanya seperti dunia ikut menatapku kembali.

Ada hari-hari seperti ini, ketika semuanya terasa mungkin. Aku menulis sepanjang pagi, tentang cahaya yang tumpah di dedaunan, tentang aroma tanah basah, tentang seseorang yang mungkin kucintai tapi tak pernah benar-benar ada. Kata orang, fase ini berbahaya. Tapi bagaimana mungkin sesuatu yang begitu indah bisa disebut bahaya?

Sore harinya, aku berjalan ke sungai kecil di belakang rumah. Airnya bening, berlari di antara batu-batu halus. Aku berbicara pada arus itu, seperti sedang berbicara pada kawan lama. Aku berkata, “Aku baik-baik saja hari ini.” Dan entah mengapa, suara air itu seolah menjawab, “Untuk sementara.”

Malamnya aku tak bisa tidur. Terlalu banyak ide menari di kepalaku, puisi, lukisan, lagu-lagu yang belum ada nadanya. Aku ingin menangkap semuanya, takut esok sudah tak tersisa. Jadi aku menulis lagi, sampai lilin di meja habis, dan jarum jam berhenti di angka tiga. Di luar, langit berubah pucat. Hari baru datang, terlalu cepat. Dan aku belum siap berhenti bersinar.

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *