Semangkuk Bubur dan Kesadaran. Hanya dari semangkuk bubur aku… | by Isma Fawzeya Rosida | Jul, 2025

“Mas, makan di sini satu porsi pake sate puyuh, ya…” Aku memesan seporsi bubur ayam tepat saat aku datang. Setelah mencari tempat duduk, aku kembali memantau percakapan di grup tadi, sampai akhirnya aku sendiri bosan melihatnya. Ku telungkupkan HP-ku dan coba menatap jauh ke depan. Hiruk pikuk kendaraan yang sudah mulai memadat. Mungkin sudah banyak yang ingin pergi ke gereja.
“Ini, Mba, buburnya…” mas pemilik warung bubur itu memberikan semangkuk bubur yang kupesan. Aku menerimanya seraya berterima kasih, menggesernya agar lebih dekat ke arahku, menambahkan sambal sesuai seleraku dan mengaduknya sedikit. Entah kenapa kali ini aku menatap bubur itu dalam-dalam. Melihat setiap komponen di dalamnya yang sudah teraduk menjadi satu dalam bahan utamanya. Visualnya yang bercampuraduk menyadarkanku tentang ‘ketidaksempurnaan’ di tengah kesederhanaan dan kenikmatannya. Mengajarkan bahwa hidup tidak selalu sempurna atau tidak berjalan sesuai apa yang kita rencanakan.
Aku tersadar dengan apa yang baru saja kuhadapi: perihal pendapatan. Aku berterus terang bahwa perasaan kaget akan perbedaan yang signifikan itu sangat ada. Bukan aku tidak bersyukur. Aku keluar dari pekerjaanku sebelumnya sebagai karyawan swasta untuk menjadi pegawai negeri dan aku merasa aku sudah melakukan pertimbangan dengan sangat matang. Hanya saja rasanya responsku seperti seseorang yang tidak memikirkan pertimbangan tersebut baik-baik.
Semakin kuaduk (note: pertama-tama, permintaan maaf ditujukan kepada tim bubur ‘tidak diaduk’😌), semakin kurang sempurna tampilannya. Cuma tujuan awalku, kan, bubur ini akan kumakan. Apapun kondisi bentuk dan visualnya, pastinya akan kunikmati dan kuhabiskan. Menerima ketidaksempurnaan. Aku menyadari layaknya bubur, kehidupan sebenarnya tidak selamanya seindah seperti yang dibayangkan dan diinginkan. Tapi, mau tidak mau, suka tidak suka, tetap kita jalani sampai kita bertemu di ‘habis’-nya. Pengorbanan yang kita lakukan, belum tentu berakhir indah. Boleh jadi akan indah pada waktunya, hanya saja memang tidak seinstan yang kita harapkan.
Hingga akhirnya ada di satu titik di mana aku menyadari ada hal terpenting dari segala inti keresahanku. Ternyata…
Aku membayar mahal untuk ‘WAKTU’
Selama ini, bisa jadi perusahaan tempatku bekerja sebelumnya membayarku lebih karena mereka bukan hanya mengapresiasi kemampuanku, tapi mereka juga harus ‘membeli’ waktuku. Waktuku untuk bersama keluarga. Waktuku bersama teman-teman. Bahkan waktuku untukku sendiri.
Sekarang aku membayar mahal untuk kebahagiaan yang rasanya dulu sulit sekali kumiliki. Memiliki waktu. Benar-benar memaknai pepatah ‘Waktu adalah Uang’. Karena memang seberharga itu, sepenting itu, dan se-penuh daya upaya itu untuk memilikinya.
Akhirnya aku bisa menikmati waktu santai di akhir pekan (terutama di hari Minggu), yang mana dulunya sangat tidak mungkin bisa kunikmati dengan cuma-cuma (kecuali apply cuti atau memang minta izin dengan alasan tertentu). Aku bisa tidur lebih cepat dan tidak perlu lagi menanam sebuah kerangka berpikir bahwa ‘kamu baru boleh tidur ketika toko tutup’. Aku tidak perlu lagi merasa kelelahan karena shift siang. Dan masih banyak lagi bentuk dari buah atas kepemilikkan waktu yang sebelumnya aku idam-idamkan.
Aku menikmati bubur di hadapanku sambil tersenyum. What a life advice to get just from semangkuk bubur.