Rumah Sederhana di Kampung Dua: Saksi Bisu Perjalanan Hidup Rahmat Faisal | by A Rahmat Faisal | Aug, 2025

1mJ P278WlbETqoVEQdLiKw.jpeg

Press enter or click to view image in full size

Di sebuah sudut tenang di Kampung Dua, Jl. Al Falah №52, RT 03/021, Jakasampurna, Bekasi Barat, berdiri sebuah rumah mungil bercat hijau dengan pintu dan jendela putih. Dari luar, rumah ini mungkin terlihat biasa saja. Namun bagi saya, Rahmat Faisal, rumah ini adalah panggung utama dari bab-bab pertama kehidupan saya — tempat di mana tawa, tangis, harapan, dan kehilangan berbaur menjadi satu.

Rumah sederhana ini bukan sekadar bangunan dari tembok dan genteng, tapi arsip kenangan yang tak tergantikan. Setiap sudutnya menyimpan cerita; setiap dindingnya merekam suara-suara masa lalu yang tak akan pernah hilang.

Saya dibesarkan di rumah ini bersama orang-orang yang sangat saya cintai: Engkong Rasim, Nenek Kosih, dan Mamang Muhammad Soleh. Mereka bukan hanya keluarga, tetapi juga pelindung dan guru kehidupan pertama saya.

Masa kecil saya di rumah ini jauh dari kata mewah. Tidak ada perabot mahal atau hiasan glamor. Namun, cinta dan kebersamaan yang mengisi rumah ini membuatnya jauh lebih berharga daripada istana megah sekalipun. Pagi hari diisi dengan aroma kopi hitam buatan Engkong, suara sapu lidi nenek di halaman, dan candaan ringan Mamang yang selalu tahu cara membuat saya tertawa.

Di halaman kecil depan rumah, saya sering bermain layangan atau berlari-lari mengejar bola plastik bersama anak-anak kampung. Tidak ada gadget, tidak ada internet, tapi saya merasa hidup saya lengkap. Bermain di tanah berdebu dan bercampur peluh adalah definisi bahagia di masa itu.

Kadang, sore hari dihabiskan duduk di depan rumah, melihat orang lewat sambil memakan pisang — makanan favorit saya sejak kecil. Dari kebiasaan inilah Engkong punya panggilan sayang untuk saya:

“Sal pisang, makan!”

Kalimat ini begitu membekas, karena setiap kali Engkong mengucapkannya, ia melakukannya dengan senyum hangat yang membuat saya merasa menjadi cucu paling istimewa di dunia.

Namun, hidup tidak selamanya tentang tawa. Tahun 2001 menjadi titik kelam dalam hidup saya. Malam itu, kabar buruk datang: Engkong Rasim mengalami kecelakaan.

Beliau ditabrak sebuah mobil losbak saat hendak berangkat ke pasar di tengah malam untuk berdagang. Kejadian itu terjadi begitu cepat. Sebelum menghembuskan napas terakhir, Engkong sempat kehilangan kesadaran. Saya yang saat itu masih kecil tidak sepenuhnya memahami arti kehilangan, tapi saya tahu sesuatu yang sangat besar telah hilang dari hidup saya.

Kepergian Engkong bukan hanya meninggalkan duka, tapi juga memutus satu harapan yang sudah lama ia rencanakan — merayakan khitanan saya secara besar-besaran bersama sepupu saya, Andi. Itu adalah salah satu impiannya: melihat saya tumbuh menjadi laki-laki dewasa dalam tradisi yang penuh kebanggaan. Sayangnya, takdir berkata lain.

Press enter or click to view image in full size

Ada cerita yang beredar di keluarga, bahwa sebelum kecelakaan, Engkong terlihat sangat gelisah. Katanya, ia memikirkan saya yang saat itu sedang sakit mata hingga mengeluarkan darah. Kekhawatiran itu membebaninya, membuatnya resah di hari-hari terakhir hidupnya.

Bagi saya, cerita ini bukan sekadar gosip keluarga. Saya percaya, kasih sayang Engkong begitu besar hingga kesehatan saya menjadi pikirannya bahkan di detik-detik terakhir hidupnya. Kenangan itu membuat saya semakin sadar bahwa cinta sejati tidak diukur dari berapa lama kita hidup bersama seseorang, tetapi dari seberapa dalam seseorang menempatkan kita di hatinya.

Kini, setiap kali saya berdiri di depan rumah ini, saya bisa mendengar kembali suara-suara masa lalu. Tawa Nenek saat melihat saya bermain. Suara Mamang yang memanggil saya pulang untuk makan. Dan tentu saja, suara Engkong memanggil saya dengan nada penuh kasih: “Sal pisang, makan!”

Rumah ini menjadi saksi bisu perjalanan hidup saya — dari anak kecil yang polos, menjadi remaja yang penasaran dengan dunia, hingga dewasa yang membawa beban dan mimpi sendiri.

Banyak orang mengira kebahagiaan datang dari harta dan kemewahan. Namun, saya adalah bukti bahwa kebahagiaan sejati lahir dari rasa syukur dan kasih sayang. Rumah ini mengajarkan saya:

  1. Nilai kebersamaan — Makan bersama di lantai dengan lauk sederhana lebih bermakna daripada makan sendiri di meja mewah.
  2. Keteguhan hati — Melihat Engkong bekerja keras berdagang membuat saya paham arti perjuangan.
  3. Menerima kehilangan — Hidup mengajarkan bahwa kita tidak bisa menahan siapa pun selamanya, tetapi kita bisa menjaga kenangannya tetap hidup.
  4. Kesederhanaan adalah kekuatan — Dari rumah ini saya belajar bahwa tidak punya segalanya bukan berarti kita kekurangan segalanya.

Saya mungkin tidak lagi tinggal di rumah ini, tapi setiap langkah hidup saya selalu kembali ke sini — setidaknya dalam ingatan. Foto rumah hijau dengan pintu putih ini adalah pengingat bahwa awal mula saya tidak pernah mewah, tapi selalu penuh cinta.

Engkong Rasim mungkin sudah tiada, tapi nilai-nilainya tetap hidup dalam diri saya. Nenek Kosih, dengan kesabaran dan cintanya, terus menguatkan saya. Mamang Muhammad Soleh, dengan caranya sendiri, mengajarkan arti tanggung jawab.

Bagi saya, rumah ini bukan sekadar bangunan. Ia adalah akar yang membuat saya tetap berdiri tegak di tengah badai hidup. Selama saya masih mengingat suara tawa di ruang tengah dan aroma kopi di pagi hari, saya tahu bahwa saya tidak pernah benar-benar kehilangan rumah.

Press enter or click to view image in full size

Rumah sederhana di Kampung Dua, Bekasi Barat ini adalah warisan terbesar yang saya miliki. Bukan karena nilainya di mata pasar, tapi karena nilainya di hati saya. Setiap orang mungkin punya rumah masa kecil, tapi tidak semua orang punya rumah yang membentuk jiwanya seperti rumah ini membentuk saya.

Dan kepada Engkong, saya ingin berkata:
“Terima kasih sudah mengajarkan saya arti kerja keras, cinta, dan ketulusan. Saya mungkin tidak bisa lagi mendengar suara ‘Sal pisang, makan’ di dunia ini, tapi saya akan selalu mendengarnya di hati saya.”

kisah hidup Rahmat Faisal, Kampung Dua Bekasi, rumah masa kecil, cerita keluarga Bekasi, kenangan rumah sederhana, kehilangan orang tercinta, kisah inspiratif keluarga Indonesia, nostalgia masa kecil.

Hashtag:
#RahmatFaisal #KampungDua #BekasiBarat #KisahHidup #RumahSederhana #CeritaKeluarga #KenanganMasaKecil #InspirasiHidup #NostalgiaBekasi

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *