Pertama Untukku, Kesekian Untukmu | by identified as salmon | Aug, 2025

1754411145 bc1f8416df0cad099e43cda2872716e5864f18a73bda2a7547ea082aca9b5632.jpeg

Kami memulai hubungan ini seperti dua orang yang baru jatuh cinta lagi. Sudah lama sejak terakhir kali kami pacaran — mungkin tiga tahun. Rasanya kami lupa bagaimana caranya menjalin hubungan. Canggung. Senyum malu-malu, obrolan yang tertahan, dan cengengesan yang muncul tanpa alasan. Tapi, ada manisnya di sana — ketidaktahuan itu membuat semuanya terasa baru dan bersih.

Bisa dibilang, kami awalnya tidak ingin ada sentuhan di hubungan kami. Hanya seperti pasangan yang menjalankan hubungan dengan kencan-kencan manisnya saja. Berjalan menyusuri kota-kota baru yang tidak pernah kami datangi, tempat-tempat yang tidak ada di Pekanbaru, dan kereta Jabodetabek yang sangat penuh. Aku tidak apa dengannya, asal aku bersamanya kala itu.

Aku mengunjunginya ke Depok. Aku lupa transportasi apa yang aku gunakan kala itu untuk menempuh jarak dari Bandung ke Depok. Yang pasti, perjalanan tersebut sangat melelahkan dan begitu lama. Tetapi, untuk bertemunya, tak apa.

Dia menyambutku datang. Dengan binar di matanya dan senyum manisnya, pipinya merona tersapu perasaan malu dan rindu yang tercampur aduk.

Tiba-tiba dia menyentuh tanganku, menggenggamnya seraya menuntunku keluar dari keramaian. Aku terkejut. Dahulu dia yang tidak mengizinkan adanya sentuhan dalam hubungan kami. Tetapi aku juga senang karena ada kemajuan di hubungan kami. Mungkin ini langkah baru dalam hubungan kami — sebuah bentuk kedekatan yang Ia izinkan terjadi.

“Kok tumben mau pegangan? Bukannya kamu ga mau ya kalau pegangan?”

“Iya, soalnya aku ga bisa nolak kalau mau tos sama teman cowo aku di kampus.”

Kalimat itu menampar dengan lembut tapi dalam. Rasa hangat yang tadi muncul di dadaku mendadak dingin. Ternyata, yang pertama untukku hanya kesekian baginya.

Mungkin dia tidak bermaksud menyakiti. Mungkin baginya, sentuhan hanyalah hal kecil. Tapi buatku, pegangan tangan itu adalah sesuatu yang kutunggu, kuhayati, dan — ya — kusimpan untuk seseorang yang benar-benar berarti. Kupikir, saat itu adalah momen spesial. Nyatanya, itu cuma hasil kebiasaan dari kampusnya.

Kencan kami tetap berjalan hari itu. Aku tertawa, berbicara, memegang tangannya lagi. Tapi di dalam hati, ada sesuatu yang janggal. Seperti nada sumbang di tengah lagu favorit.

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *