One Last Ride. Hari ini 17 Agustus tepat satu tahun… | by babybears | Aug, 2025

Hari ini 17 Agustus tepat satu tahun sejak acara Merdeka Ride, momen yang secara ngga langsung mempertemukan kita. Dari akhir Juli aku udah gelisah, bertanya pada diri sendiri: sanggup ga ya aku ikut? Bukan karena ada kesibukan lain, tapi karena aku belum siap, atau karena aku takut. Bukan takut sama kamu, tapi takut sama reaksi hatiku sendiri saat melihatmu lagi… especially if you showed up with your “red-rose” girlfriend.
Ternyata aku masih belum mampu liat kamu berduaan sama perempuan lain. Ironisnya, waktu itu aku ga sengaja nemu video waktu lagi stalking tiktok akun vespa kamu— in the video, you were riding your Vespa with a girl, stopped by a flower shop, and surprised her with a red rose while she was filming you. Dan aku, dengan semua kebodohanku, sempat berpikir bahwa mungkin kamu juga masih beristirahat dari luka. Ternyata aku salah.
Reaksi awalku waktu lihat video itu pun campur aduk: antara sedih dan senang. Senang karena ternyata kamu bisa se-sweet itu, tapi juga sedih karena seumur hidupku aku ngga pernah merasakan diperlakukan seperti itu.
Then i asked myself again: why does this feel like an obsession, even though i really do like you that much?
Karena kadang aku bisa lupain kamu sepenuhnya, ngerasa udah ikhlas… tapi hal-hal kecil masih suka memicu ingatan dan perasaan itu lagi. Apalagi kalau lagi motoran di jalan, aku suka kebayang gimana ya kalau secara ngga sengaja kita ketemu di Bandung yang sempit ini? Tapi kayaknya semesta juga udah ngga mau mempertemukan kita lagi. Terlebih, kamu adalah pria terakhir yang benar-benar buat aku jatuh hati. Sampai detik ini, aku belum bisa buka hati lagi. You are still the one who stole my heart unexpectedly.
Di 17 Agustus tahun ini aku milih ga ikut Merdeka Ride. Aku cuma bisa liat dari kejauhan, lewat story Burangrang. Strangely, not a single one showed you. You didn’t post anything either. So… where are you actually? Did you go
Dear Kale,
Malam ini aku dengerin voice note kita pas awal-awal PDKT. Topik kita ringan, penuh tawa, penuh rasa ingin tahu satu sama lain. Itu mungkin terakhir kalinya aku benar-benar bisa sesuka itu sama seseorang. Damn, from the way you talked, from the stories you shared with me, it was so clear that you’re smart and insightful. I was really amazed, and from that, I realized I liked you instantly.
It made me smile, though my heart felt a little heavy. Kalau Doraemon itu beneran ada dan nyata, aku pengen pinjem mesin waktunya. Aku mau kembali ke masa itu, ngelawan semua rasa takut aku — takut dikecewain, takut mengulang trauma lama, lawan insecure yang selama ini nahan aku.
Mengulang waktu ketika kamu nembak aku lewat chat Whatsapp. Saat itu, andai aku bisa nerima perasaan kamu tanpa terlalu banyak berpikir — tanpa ragu, tanpa dihantui ketakutan akan sakit hati — mungkin ceritanya berbeda. Aku harusnya ga mikirin dulu apakah kamu serius atau engga, karena setidaknya aku nerima kamu dengan tulus karena aku suka sama kamu. Tapi apa yang kira-kira terjadi yaa kalau kita pacaran? Pertama, karena aku belum pernah merasakannya sama sekali, ini pernah aku ceritain di chapter sebelumnya. Dan kedua, karena aku takut kamu cuma main-main. Pertanyaan itu masih terus menggantung sampai sekarang, tanpa pernah ada jawabannya.
Dan setelah kupikirin berulang-ulang kali, mungkin kita memang punya banyak kesamaan. Kamu pernah bilang wajahmu sering terlihat jutek, kamu jarang ngobrol face to face to stranger, padahal di balik itu ada banyak hal yang ingin kamu ekspresikan tapi sulit kamu sampaikan. Dan aku merasa begitu mengerti bagian itu dari dirimu karena aku juga seperti itu.
Kale… my heart still calls for you. Maaf karena dulu aku membuat kamu ragu karena ketidakpercayaanku, maaf karena aku gagal melawan insecure-ku sendiri. Kamu pantes bahagia sama seseorang yang aktif, percaya diri, dan ceria. Sedangkan aku sampai detik ini masih terus berjuang melawan ketakutan dari pikiranku sendiri.
I know it’s toxic and i’m still trying to deal with it. Di hidupku yang cuma sekali ini, aku bakal sayang sama kamu dengan tulus. Aku ngga suka main-main sama perasaanku sendiri, apalagi sama perasaan orang lain. Aku mau kamu ngerasain sayang, bahkan cinta tulus, yang aku punya dan bisa aku kasih.
Dan sampai detik ini aku masih bingung dan tersesat, gimana caranya memperbaiki hati yang sudah terlanjur rusak? Gimana cara menyembuhkan luka yang tidak kunjung sembuh?
Because the hardest part isn’t just forgetting you, but also finding peace with the damage that was already there in me.