Keberanian Bukan untuk Semua Orang

Pernahkah kamu heran kok bisa ada orang-orang yang sangat berani menyuarakan keadilan di ruang publik dengan lantang, melompat dari gedung ke gedung lain, atau berbicara di depan umum dengan kelewat PD (percaya diri)?
Ada benarnya, tapi itu semua berbentuk sebagai “hasil”. Karena keberanian yang sebenarnya sering kali tidak terlihat dan menyakitkan. Semua hasil pasti memiliki prosesnya.
Proses sebuah keberanian adalah seberapa tangguh memilih jalan “sulit” ketika jalan “mudah” terbuka lebar. Berani adalah mengatakan “tidak” saat semua orang bilang “ya”.
Jalan sulit itu biasanya berkaitan dengan moral.
Hal yang membuat jalan tersebut sulit bukan karena tidak tahu mana yang benar, biasanya karena tekanan sosial. Resiko ditinggal atau dijatuhkan. Takut dianggap sok ini sok itu bahkan diserang balik.
Banyak orang ingin terlihat berani, terus dianggap keren atau dilihat seperti pahlawan oleh orang-orang, tapi sedikit yang bersedia menanggung bebannya.
Ada banyak contoh di mana orang-orang dewasa yang tidak berdaya melawan ketakutannya. Padahal, mereka bukan talasofobia yang sedang dipaksa berenang di laut dalam.
Saya ingin sedikit bercerita tentang pengalaman sebagai orang Jakarta yang menunjukkan bahwa keberanian bukan untuk semua orang.
Pada Juni 2024, jam 9 pagi, saya baru pulang bekerja shift malam di salah satu hotel daerah Jakarta Barat dan naik bus Transjakarta nomor 2A Rawabuaya-Pulogadung. Tenaga sudah rontok, mata makin memberat untuk terbuka, tapi tetap dipaksakan berdiri karena semua kursi sudah penuh dengan mereka yang berangkat kerja.
Dengan tetap terkantuk-kantuk dan kurang fokus, saya hanya melihat ke arah depan dan kebetulan ada bapak-bapak 50 tahunan masuk, terus berdiri di dekat area khusus perempuan. Saya ingat betul bahwa kondisi di dalam sana tidak terlalu ramai sampai berdesak-desakan, tapi bapak itu rasanya perlahan merapatkan diri ke perempuan 20 tahunan di sebelahnya.
Mungkin mereka saling kenal dan mau mengobrol supaya terdengar jelas satu sama lain, itu sekilas yang ada di pikiran saya.
Saya mulai mengamati tiap gerak-geriknya sambil sesekali mengucek-ngucek mata. Dugaan saya benar. Ketika si mbak-mbak itu ingin berpindah tempat, badan dan kaki si bapak tua menghalangi geraknya. Yang lebih meyakinkan adalah pas si bapak tua mendekatkan wajahnya ke telinga kanan si perempuan.
Sebelum memutuskan untuk melakukan konfrontasi, saya melihat ke sekitar: “kok, semuanya diam aja?” Termasuk si mbak-mbak itu yang hanya bisa mengangkat bahu kanannya dan bergerak sedikit menjauh. Sangat risih.
Hampir semua penumpang sibuk berkantor di handphone mereka masing-masing. Saya yakin ada juga yang melihatnya selain saya karena pandangan orang-orang mengarah ke depan.
Setelah saya memberanikan diri dengan bertanya keras-keras: “mau ngapain, Pak?!”, si bapak tua menjawab polos bahwa ia mau turun sambil kakinya MASIH BERANI menghalangi gerak kaki si perempuan. Untuk kedua kalinya saya bertanya dan menyingkirkan badannya dari si perempuan. Saya juga menyuruh si perempuan berdiri di dekat saya.
Bus berhenti dan si bapak tua itu langsung turun di halte berikutnya. Sedangkan saya dan si perempuan kebetulan turun di tempat yang sama, halte Senen.
Awalnya, saya hanya merasa hal yang saya lakukan biasa saja karena itu hal yang benar, tapi saya jadi merasa bersyukur bisa bermanfaat bagi seseorang yang hampir mendapatkan trauma karena pelecehan seksual di ruang publik.
Ternyata, kejadian orang-orang yang takut dianggap terlalu mencampuri urusan orang lain seperti itu juga terjadi beberapa hari lalu setelah tulisan ini dibuat. Di tempat yang sama, bus Transjakarta, tapi bedanya adalah ini direkam dan cukup viral.
Jadi, ada bapak-bapak berjaket merah lagi memalak kakek berbaju putih. Karena kepekaan yang tinggi dengan sekitar, seorang penumpang perempuan langsung menegurnya.
Sayangnya, HAMPIR seluruh penumpang bus TJ itu hanya menonton layaknya anak kecil yang haus hiburan, termasuk sesama perempuan yang bahkan tidak ada keinginan untuk membantunya.
Untuk lebih jelasnya, kamu bisa tonton videonya di sini. Kamu akan semakin yakin bahwa keberanian BUKAN untuk semua orang.
Walaupun video itu menyebar cepat, tapi yang harusnya viral bukan hanya videonya, melainkan kenyataan bahwa banyak dari kita TIDAK TAHU HARUS BERBUAT APA saat ketidakadilan terjadi di depan mata.
Keberanian itu pilihan, bukan bawaan atau bakat. Sama seperti keterampilan. Beruntungnya, setiap keterampilan selalu bisa dilatih. Cara upgrade-nya gimana? HADAPI ketakutannya. Seperti otot, kalau keberanian kamu latih terus-menerus nanti akan semakin kuat dan padat.
Keberanian memang bukan untuk semua orang karena itu hanya bagi mereka yang ingin perubahan.
Jika kamu merasa takut, tapi tetap ingin bertindak sesuatu, itu tandanya kamu punya keberanian. Hadapi aja, dimulai dari berani menyapa pas kamu melihat ada yang janggal. Berani menjadi orang pertama yang bertindak.
Mungkin bagi kamu sendiri, tindakan seperti itu sepele, kecil, atau malah tidak ada artinya. Namun, itu bisa jadi sangat berarti bagi orang lain.
Mereka menjadi yakin bahwa mereka akan tetap aman di ruang publik dan mereka bakal selalu percaya orang baik selalu ada.