Ibu yang Selalu Lupa. Bukan lelah fisik, tapi lelah jiwa. | by Zi | Jul, 2025

Zoom image will be displayed

Photo by Richard Stachmann on Unsplash

Malam itu aku memutuskan untuk jalan kaki pulang dari gedung klien, meski jaraknya hampir tiga kilometer dan hujan gerimis mulai turun. Bukan karena ingin olahraga atau menghemat ongkos—tapi karena aku butuh waktu untuk merapikan pikiran yang berantakan setelah seharian meeting yang melelahkan.

Sebagai digital marketer yang biasanya work from home di Samarinda, datang ke Jakarta untuk work from office sesekali selalu terasa seperti culture shock. Hiruk pikuk, polusi, dan ritme hidup yang seperti tidak pernah berhenti. Hari ini aku harus presentasi campaign baru ke klien multinasional—hal yang biasanya kulakukan lewat Zoom dari kamarku di Samarinda, tapi kali ini mereka minta face-to-face meeting.

Jalanan Sudirman hampir sepi untuk ukuran Jakarta jam sembilan malam. Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat, lampu-lampu gedung perkantoran yang masih menyala, dan deretan pohon trembesi yang basah terkena gerimis. Udara terasa lembab, bercampur aroma aspal basah dan polusi yang tak pernah hilang dari kota ini.

Aku berjalan pelan, menikmati keheningan yang jarang kudapat di tengah hiruk pikuk kehidupan. Earphone terpasang, tapi musiknya sudah mati sejak tadi. Aku lebih suka mendengar suara kota yang mengantuk—klakson yang sesekali berbunyi, dengung AC gedung-gedung tinggi, dan derap langkah kaki ku sendiri di trotoar yang mulai licin.

Di depan, ada halte bus yang nyaris kosong. Hanya ada satu orang yang duduk di sana—seorang perempuan dengan pakaian kerja yang rapi, meski sudah larut malam. Blazer abu-abu, celana hitam, sepatu heels yang dilepas dan diletakkan di samping kaki. Dia duduk dengan posisi tegak, tapi ada sesuatu dalam bahasa tubuhnya yang terlihat… lelah. Bukan lelah fisik, tapi lelah jiwa.

Rambutnya panjang sebahu, diikat asal-asalan dengan karet gelang. Beberapa helai lepas dan menempel di pipi karena gerimis. Makeup-nya masih terlihat rapi, tapi kalau diperhatikan lebih seksama, ada lingkaran hitam tipis di bawah mata yang tidak bisa ditutupi concealer.

Dia menatap kosong ke jalan raya, sesekali mengecek ponsel, tapi tidak seperti orang yang sedang menunggu. Lebih seperti orang yang sedang menunda pulang.

Aku tidak berniat berhenti. Tapi tiba-tiba dia menatap ku. Matanya berkaca-kaca, tapi tidak menangis. Seperti air yang sudah penuh di gelas, tinggal menunggu satu tetesan lagi untuk tumpah.

“Eh, maaf,” katanya ketika aku sudah beberapa langkah melewati halte. “Bus terakhir masih ada nggak ya? Yang ke arah Blok M?”

Aku berbalik. “Kayaknya sudah nggak ada. Ini udah jam sembilan lewat.”

Dia mengangguk pelan, seperti sudah menduga jawaban itu. Tapi tetap bertanya, mungkin hanya untuk memastikan.

“Oh iya ya. Lupa.” Suaranya pelan, hampir tertelan suara hujan yang mulai lebat.

Entah kenapa aku merasa tidak enak kalau langsung pergi. Mungkin karena wajahnya yang terlihat begitu… terdampar. Seperti orang yang kehilangan arah, bukan secara geografis, tapi secara eksistensial.

“Mau nebeng ojol bareng? Kebetulan aku juga ke arah sana,” tawar ku, meski sebenarnya rumah ku di arah yang berlawanan.

Dia menatap ku dengan ekspresi terkejut. Seperti tidak menyangka ada orang asing yang mau repot-repot menawarkan bantuan di Jakarta.

“Nggak apa-apa, terima kasih. Aku tunggu sebentar lagi aja.”

Tunggu apa? pikir ku. Tapi aku tidak bertanya.

“Yakin? Hujannya makin deres nih.”

Dia melihat ke langit yang semakin gelap, lalu ke jalanan yang mulai tergenang air. Gerimis tadi sudah berubah jadi hujan yang serius.

“Ya udah deh. Makasih banget.” Dia memakai kembali sepatu heels-nya, mengambil tas kantor yang sudah lusuh di pinggiran, dan berdiri. “Aku Sinta, ngomong-ngomong.”

“Aku…” aku hampir menyebutkan nama, tapi kemudian sadar bahwa dalam pertemuan seperti ini, nama tidak begitu penting. “Aku digital marketer, tapi dari Samarinda. Lagi tugas ke Jakarta.”

Kami berdiri di bawah atap halte yang bocor, menunggu ojol yang kubookkan. Suara hujan di atap seng terdengar seperti dentingan koin yang dijatuhkan berkali-kali. Sinta memeluk tasnya erat, matanya masih menatap kosong ke jalan.

“Kamu kerja sampai malem juga?” tanya ku, lebih untuk mengisi keheningan daripada benar-benar ingin tahu.

“Iya. Audit internal. Lagi musim closing, jadi ya gini deh.” Jawabnya singkat, tapi kemudian menambahkan, “Tapi sebenernya udah kelar dari jam tujuh. Aku cuma… nggak mau pulang aja.”

Ada sesuatu dalam cara dia mengucapkan kalimat terakhir itu. Bukan nada bercanda, bukan juga nada sedih. Lebih seperti pengakuan yang lepas tanpa sadar.

Ojol datang. Mobil putih dengan driver yang memakai masker. Dia membuka kaca jendela sedikit, memastikan penumpang sesuai dengan yang di aplikasi. Kami naik, dan dia langsung menjalankan mobil menuju alamat yang sudah tertera di GPS.

Perjalanan dimulai dalam hening. Jakarta malam hari dalam hujan selalu punya pesona tersendiri—lampu-lampu kendaraan yang memantul di aspal basah, gedung-gedung tinggi yang bercahaya seperti kotak-kotak raksasa, dan langit yang hitam pekat tanpa bintang.

Tapi di dalam mobil yang hangat dengan AC yang menyala pelan, aku bisa merasakan ketegangan dari tubuh Sinta yang duduk di sebelah ku. Napasnya tidak teratur, tangannya yang memegang tas bergetar sedikit setiap kali mobil melewati lubang atau polisi tidur.

Lima belas menit kemudian, kami sampai di minimarket 24 jam yang Sinta tuju. Driver menghentikan mobil di depan. Trip selesai, kami turun dan berterima kasih.

Sinta turun dengan tergesa-gesa, hampir terjatuh karena kakinya terpeleset di aspal yang licin.

“Kamu mau ikut masuk nggak?”

Aku ikut masuk, lebih karena tidak enak hati daripada butuh beli sesuatu. Kami masuk ke minimarket yang terang benderang dengan lampu neon yang menyilaukan. Minimarket itu terang benderang dengan lampu neon yang menyilaukan. Musiknya lagu pop Indonesia yang diputar berulang dari speaker kecil di sudut. Bau pewangi ruangan bercampur aroma kopi instan dan mie rebus dari warung sebelah.

Sinta mengambil sebungkus Marlboro Lights, kue ulang tahun kecil yang penuh hiasan butter yang aku yakin ketika kita memakannya akan menempel di langit-langit mulut dan sebotol air mineral. Tangannya masih gemetar ketika memberikan uang ke kasir.

Kami keluar dan berdiri di bawah kanopi minimarket. Hujan semakin deras, suaranya seperti applause yang tidak pernah berhenti. Sinta menyalakan rokok dengan korek api yang apinya hampir padam karena angin.

“Maaf ya, jadi ribet. Sebenernya tadi aku bohong.” Dia menghisap rokok dalam-dalam, asapnya langsung terbawa angin. “Aku nggak mau pulang karena… suami ku pasti udah marah besar.”

Dia terdiam sejenak, menatap ujung rokok yang membara.

“Hari ini anak ku ulang tahun. Yang ke tujuh. Dan aku lupa.”

Kalimat itu keluar begitu saja, seperti napas yang tertahan terlalu lama.

“Aku lupa kalau hari ini ulang tahun anak ku sendiri.”

Aku tidak tahu harus merespons apa. Di Samarinda, di lingkungan kerja ku yang santai, konflik terbesar biasanya cuma soal deadline atau internet lemot. Tapi ini… ini level yang berbeda.

“Pagi ini dia bilang, ‘Bu, hari ini aku ulang tahun.’ Dan aku jawab, ‘Iya sayang, nanti malam Ibu beliin kue ya.’ Terus aku berangkat kerja seperti biasa. Nggak ada yang istimewa dalam kepalaku.”

Sinta menghisap rokok lagi, asapnya bercampur dengan uap napas di udara dingin.

“Sampai sore, aku baru sadar. Lagi rapat sama klien, tiba-tiba ingat. Hari ini tanggal berapa? Astaga, ini kan ulang tahun Kenzo. Tujuh tahun. Dan aku duduk di ruang meeting, ngomongin target sales, sementara anak ku nunggu ibu nya pulang dengan kue ulang tahun.”

Dia menunduk, menatap ujung sepatu heels-nya yang basah.

“Aku langsung nelpon suami, bilang aku pulang agak telat, suruh dia beli kue dulu. Tapi ya, nggak bisa, dia sama sibuknya denganku. Perbedaannya dia ingat hari ini ulang tahun anak kita,”

Aku mulai merasa tidak nyaman mendengar cerita ini. Bukan karena tidak mau mendengar, tapi karena ada sesuatu yang familiar dalam nada suaranya. Seperti orang yang sudah lama menyimpan sesuatu dan akhirnya menemukan tempat untuk menumpahkannya.

“Terus aku panik. Langsung WA ke grup Komplek, minta tolong beliin kue. Untung Bu Rina mau. Dia yang beliin kue Red Velvet sama lilin angka tujuh. Tapi aku masih di sini, belum pulang. Kenzo pasti udah tidur nunggu ibu nya yang gak pernah inget.”

Sinta mematikan rokok yang baru separuh habis, menginjak nya di lantai yang basah.

“Dan sekarang aku takut pulang. Takut liat muka Kenzo yang kecewa. Takut liat suami yang udah pasrah sama kelakuan ku. Makanya tadi aku bilang nggak mau pulang.”

Hujan mulai reda sedikit, tapi suara tetesnya di kanopi masih terdengar seperti detik jarum jam yang tak pernah berhenti.

“Tapi yang paling sakit bukan itu,” lanjutnya, suaranya mulai bergetar. “Yang paling sakit adalah ketika aku sadar, ini bukan pertama kalinya. Tahun lalu aku juga hampir lupa. Bulan lalu aku lupa kalau dia dititipkan di day care, jadi Kenzo nunggu dijemput sampai semua anak pulang. Minggu lalu aku lupa dia ada pertandingan futsal di sekolah.”

Dia menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.

“Aku jadi ibu yang selalu lupa hal-hal penting tentang anak sendiri. Tapi aku ingat betul deadline project klien, ingat meeting schedule, ingat campaign launch date. Aku lebih hafal kalender kerja daripada kalender sekolah anak ku.”

Ada jeda panjang. Hanya suara hujan dan dengung AC minimarket yang terdengar.

“Dan yang paling menyebalkan, semua orang bilang aku ibu yang hebat. Working mom yang sukses. Career woman yang bisa balance kehidupan. Mereka nggak tahu kalau aku sering banget lupa jemput anak, lupa acara sekolah, lupa jadwal imunisasi.”

Sinta mengeluarkan ponsel, menunjukkan wallpaper foto dia dan anaknya. Anak laki-laki kecil dengan senyum lebar, peluk ibunya yang terlihat lelah tapi memaksa tersenyum.

“Ini foto terakhir kita. Bulan lalu, pas dia juara kelas. Aku datang terlambat dua jam karena meeting mendadak. Dia udah nangis karena semua orang tua udah pada pulang, cuma dia yang belum dijemput. Guru nya yang jagain sampai aku datang.”

Dia memasukkan ponsel kembali ke tas.

“Suami ku udah mulai curiga. Dia bilang, ‘Kamu tuh kayak nggak punya anak. Semua urusan Kenzo selalu aku yang handle.’ Dan aku marah, bilang dia nggak ngerti tekanan kerja ku. Padahal dalam hati, aku tahu dia benar.”

Dari minimarket, aku pesan ojol lagi untuk ke rumahnya. Sinta memegang erat kotak kecil berisi kue itu untuk besok—katanya Kenzo mau rayain ulang tahun sama teman-teman sekolah, dan kali ini dia nggak mau lupa lagi.

“Makasih ya udah mau dengerin,” katanya sambil naik ke mobil ojol kedua. “Aku nggak tahu kenapa aku cerita semua ini ke kamu. Mungkin karena kamu orang asing, jadi nggak akan judge.”

Perjalanan dilanjutkan dalam hening yang berat. GPS menunjukkan masih sepuluh menit lagi menuju alamat tujuan di Kemang.

Ketika kami sampai di depan cluster perumahan yang terlihat mewah, Sinta turun sambil membawa kotak kuenya dengan hati-hati. Dia membayar ongkos penuh untuk driver, lalu pamit singkat. Aku melihatnya berjalan pelan menuju gerbang rumahnya, membawa kotak kue dengan hati-hati, seperti membawa harapan terakhir untuk memperbaiki kesalahan.

Dalam perjalanan kembali ke hotel, aku mulai berpikir. Ini sudah ketiga kalinya akhir-akhir ini, orang asing tiba-tiba bercerita tentang sisi gelap hidup mereka kepadaku. Tanpa aku bertanya, tanpa aku being nosy tentang kehidupan orang lain. Cerita-cerita itu yang menghampiri, seolah mencari tempat untuk ditumpahkan.

Yang pertama di coffee shop dekat stasiun, seorang perempuan muda bernama Langit yang cerita tentang masa lalunya sebagai escort dan mimpinya untuk memulai hidup baru. Yang kedua di kos-kosan Balikpapan, Rani si janda yang dunia tak henti-henti mencacinya. Dan sekarang Sinta, dengan cerita tentang jadi ibu yang selalu lupa.

Mungkin wajah ku memang terlihat seperti confessional booth. Atau mungkin di dunia yang makin individualis ini, orang-orang butuh seseorang yang bisa mendengar tanpa menghakimi, yang bisa menerima cerita tergelap mereka tanpa berusaha memberikan solusi atau nasihat moral.

Karena kadang, yang dibutuhkan bukan pengampunan atau jawaban.

Hanya ruang untuk bernapas di antara beban hidup yang terlalu berat untuk dipikul sendirian.

Dan entah kenapa, ruang itu selalu berakhir di hadapan ku.

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *