Dari Gunadarma ke TU Delft: Tentang Sebuah Label yang Lekat | by Risti Ayu E | Aug, 2025

1musfryhfbBp3v6XbksgEFw.jpeg

Seperti sebuah roti di supermarket, orang akan lebih memilih roti dengan label kemasan yang bagus, mewah, dan terpercaya. Tapi siapa sangka, roti label buatan rumah ini lebih hangat dan istimewa.

Press enter or click to view image in full size

Aku tidak berasal dari universitas negeri favorit. Bukan UI, bukan ITB. Aku berasal dari UGM Depok, Universitas Gunadarma Margonda (Jokes kuno ehe). Kampus swasta yang jarang disebut dalam percakapan kampus unggulan, yang identik dengan iklan ufonya itu. Dulu, itu sempat membuatku ragu. Apakah mungkin seseorang dari kampus seperti ini melangkah ke panggung akademik internasional? Ke universitas seperti TU Delft, salah satu kampus teknik terbaik di dunia?

Hari ini, aku tahu jawabannya: mungkin.

Dulu SMA, aku punya daftar kampus impian. Tapi ternyata jalanku tidak sampai ke sana. Aku sempat kecewa, bahkan menolak realita bahwa pada akhirnya aku berkuliah di kampus yang sama sekali tidak ada di rencana awal. Tapi sepanjang waktu berjalan, aku sadar, mungkin bukan kampusnya yang salah, mungkin justru ada misi besar yang diselipkan Allah di tempat yang tidak pernah aku harapkan.

Sejak hari pertama kuliah, aku menanamkan satu pola pikir:
“Kamu ini cuma anak Gunadarma ti. Jadi yang terbaik di sini pun belum tentu akan dilihat di luar.”

Bukan karena aku meremehkan kampusku, tidak, tapi karena aku sadar dunia di luar sana punya standar yang jauh lebih tinggi. Aku tidak ingin menjadikan batasan sebagai alasan. Aku tidak ingin puas hanya karena merasa “cukup baik” di lingkup yang kecil. Maka sejak awal, aku belajar memasang standar bukan hanya dari sekelilingku, tapi dari apa yang ada di luar sana.

Aku tahu, di luar sana akan selalu ada yang lebih cemerlang, lebih hebat, dan lebih beruntung. Tapi aku tidak ingin hidup dengan rasa rendah diri. Aku putuskan untuk hadir sepenuhnya di tempat yang mungkin tampak biasa, tapi aku harap bisa jadi luar biasa jika aku bersedia berproses secara maksimal di dalamnya. Dari sana aku berusaha untuk mengisi perkuliahanku dengan hal-hal yang aku rasa menantang batasanku.

Aku bergabung dengan organisasi kampus, Himpunan Mahasiswa Arsitektur dan BEM Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Dan karena saat itu aku ingin belajar lebih dari sekadar mata kuliah, aku putuskan untuk ikut dan aktif dalam organisasi secara maksimal, yang mana menghantarkan aku menjadi pengurus inti sebagai wakil ketua ADKESMA (advokasi Kesejahteraan Mahasiswa) pada akhir jabatanku. Disana aku belajar apa rasanya mengambil tanggung jawab, berdiskusi, berkompromi, dan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diriku sendiri. Aku belajar memimpin, dilatih untuk mendengar, dan dipaksa ahli dalam membagi skala prioritas. Menjadi jembatan bagi masyarakat dan pihak kampus bukanlah hal yang mudah dan ini menjadi batasan menarik bagiku.

Dan yang benar-benar mengubah hidupku pada masa perkuliahanku adalah satu keberanian kecil disaat Ujian Tengah Semester tahun itu:
Aku mendaftar International Architecture Workshop 2019. Waktu itu, aku yang masih mahasiswa tingkat 2 ini tentu tidak yakin akan diterima. Tahu diri bahwa tugas-tugasku yang masih jauh dari kata oke, aku beranikan saja untuk coba tanpa berharap besar bisa diterima. Aku rasa, bila betul diterima, kegiatan jenjang international yang hanya ada di jurusan arsitektur ini merupakan gerbang baru untuk mengisi kegiatan perkuliahanku yang itu-itu saja. Lagi, aku rasa ini kesempatan untuk bisa menemukan batasan baru pada diriku.

Dan ternyata, aku terpilih menjadi salah satu dari 10 orang dari seluruh angkatan tingkat 2 dan 3 yang diberi kesempatan untuk pergi ke Korea Selatan tahun itu. Terkejut? jelas, tapi kalau saat itu aku terus bersembunyi dibalik kabut keraguan dan rasa takut untuk mencoba. Mungkin aku tidak akan pernah tahu seberapa jauh kakiku bisa melangkah.

Itu adalah kali pertama aku naik pesawat. Kali pertama aku ke luar negeri. Tanpa mengeluarkan uang sepeserpun.
Tapi lebih dari itu, itu kali pertama aku merasa,
“aku punya tempat di dunia yang luas ini.”

Di sana, aku melihat bahwa arsitektur bukan hanya soal bangunan. Ia adalah tentang budaya, lingkungan, manusia, kehidupan, dan masa depan. Aku melihat mahasiswa dari negara lain berdiskusi tentang ruang dan kota dengan cara yang belum pernah kupikirkan sebelumnya. Dan perlahan, aku mulai percaya bahwa aku juga bisa menjadi bagian dari percakapan itu. Mungkin bahkan memberi warna yang berbeda.

Pengalaman itu menjadi titik balik. Aku mulai menyadari bahwa setiap langkah yang aku ambil di kampus ini, sekecil apa pun, sedang mempersiapkanku untuk sesuatu yang lebih besar. Aku merasa punya nilai baru, bukan karena latar belakang kampusku, tapi karena bagaimana aku menyikapi proses belajarku.

Hari ini, aku diberi kesempatan untuk belajar di TU Delft , salah satu universitas teknik terbaik di dunia. Kadang aku masih terdiam dan bertanya-tanya “Bagaimana bisa ya ti?”. Tapi jauh di dalam hati, aku tahu ini bukan kebetulan. Ini buah dari keyakinan yang dijaga, dari langkah-langkah kecil yang terus diambil, dari keputusan untuk tidak membatasi diri hanya karena label kampus atau latar belakang.

Bukan karena aku lebih pintar, bukan, jelas bukan. Tapi mungkin karena aku belajar lebih keras, berbekal mental “coba aja dulu” untuk berjalan lebih jauh sambil membawa mimpi yang entah kapan bisa terwujud. Aku tahu bagaimana rasanya belajar di ruang yang fasilitasnya terbatas, aku tahu bagaimana rasanya dipandang sebelah mata, aku tahu bagaimana rasanya harus mencari ilmu dari luar kelas, dari pengalaman lapangan, dari proyek-proyek kecil yang tidak dilihat siapa-siapa. Dan justru dari rasa itu, aku belajar banyak, banyak sekali.

Press enter or click to view image in full size

Kelompok Introduction Programku!

Buat kamu yang berasal dari tempat yang dianggap “biasa”, izinkan aku mengatakan ini,

Label bukan takdir.
Yang menentukan arah hidup kita bukan di mana kita mulai, tapi bagaimana kita merespon dan mengambil sikap pada perjalanan itu.

Kalau kamu berjalan dengan sepenuh hati, dengan kemauan untuk belajar dan keberanian untuk melampaui ekspektasi dirimu sendiri, percayalah bahwa dunia akan membukakan jalannya, satu demi satu.

Dan bila saat itu tiba, kamu akan tahu bahwa,
“Aku tidak sampai di sini karena kebetulan atau keberuntungan. Aku sampai di sini karena aku tidak pernah berhenti mencoba dan berdoa.”

Salam hangat,
dari mantan makhluk ufo since 2.0.1.7 ehe.

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *