Buku picisan, atau rapat klise?. Ini adalah cerita dari sudut pandang… | by Kev | Sep, 2025

Ini adalah cerita dari sudut pandang seorang pria yang tak tahu …, sebentar, tak tahu malu? Tak tahu diri? Entahlah, terlalu banyak tak tahu yang dapat disematkan ke pria itu.
Sore itu bukan waktu yang spesial, hanya sore biasa selepas pulang sekolah seperti hari-hari lain. Mungkin juga karena hari itu masih semester pertama di masa SMA, tak ada rasa bosan, banyak hal yang belum dicoba oleh sang pria. Sang pria mencoba untuk menyibukkan diri — tapi dia tidak bisa hal lain selain belajar, olahraga pun dia tak ada yang dia bisa (selain karena alasan lain: malas menggerakkan tubuh sedari kecil). Solusinya? Mencoba aktif di organisasi. Sebenarnya dia agak plin plan dalam bergaul, kadang mudah betul berkenalan dan berbicara hal-hal tak perlu ke orang yang baru dikenal, kadang pula bisa tahan tak mengucapkan sepatah kata apapun selama berjam-jam. Dia pikir akan mudah untuk akrab di organisasi semasa SMA — masih seumuran, pikirnya.
Dia telah tergabung sebagai anggota OSIS, jadi pengurus biasa tentunya — karena dia masih kelas 10 waktu itu. Namun, terdapat budaya yang cukup menarik di OSIS sekolahnya. Budaya itu adalah pengurus kelas 10 diizinkan untuk menjadi panitia inti — atau lebih sering disebut BPH — dalam acara-acara internal dengan skala yang lebih sempit. Apakah sang pria terlibat? Tentu. Dia berada di divisi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) — melihat dari nama divisinya saja sudah tertebak dia orang seperti bagaimana. Kebetulan sekali, semester itu, divisi yang ia tempati menjalin kerja sama dengan divisi tetangga — disebut tetangga karena kedua divisi tersebut di bawah satu bidang yang sama — , yakni divisi Hubungan Masyarakat (Humas). Tak ada reaksi berlebihan ketika dia diinformasikan akan terlibat menjadi pengurus inti di acara ini, acara workshop tepatnya.
Workshop ini dirancang dengan skala yang kecil, hanya untuk internal siswa kelas 10 dan 11 di sekolahnya. Dia hanya tahu akan ada tiga orang lainnya yang menjadi pengurus inti, orang-orang yang akan bekerja lebih intens dengannya mulai dari mempersiapkan hingga menutup acara dengan penyerahan laporan kegiatan. Mereka lah orang-orangnya, sebut saja si M, si B, dan sang wanita.
Kembali ke sore waktu itu. Untuk pertama kalinya, sang pria mengetahui eksistensi sang wanita. Seseorang yang selama ini hanya dia dengar namanya — atau bahkan namanya hanya angin lalu yang tak pernah ia coba untuk ingat. Tak ada ekspetasi apa-apa. Dia hanya rekan kerja untuk beberapa bulan ke depan, pikirnya. Berkenalan, cukup klise dan singkat, tanpa basa-basi berlebihan. Semuanya biasa saja. Rapat dimulai dan hanya perkara acara workshop yang menjadi pembicaraan. Rapat ini pun diakhiri hanya dengan kalimat, “terima kasih, semua.”
~~Lompat ke beberapa bulan setelah pertemuan biasa saja itu, sang pria baru menyadari ternyata rapat itu bukan kali pertama sang wanita menyadari kehadiran sang pria. Tentu sang wanita yang memberitahu sang pria — dia tak cukup peka untuk menyadari hal-hal seperti ini — jikalau sang wanita mengetahui adanya manusia berwujud sang pria dari sebuah buku. Ya, di perpustakaan, sang pria meminjam sebuah buku aneh, pikir sang wanita. Dari judulnya saja sudah sangat picisan, Sepotong Senja untuk Pacarku. Namun, buku itu pun tidak meninggalkan kesan yang kuat bagi sang wanita. Baginya, sang pria hanya lah seseorang yang tertarik dengan buku aneh, tetapi entah lah, cerita ini pun hanya dari sudut pandang sang pria. Coba tanyakan langsung kepada sang wanita, mungkinkah ada kesan lain yang tertanam di pikiran sang wanita ketika pertama kali melihat sang pria dengan buku aneh di perpustakaan.
20:25, 25/09/’25 — EDI, Skotlandia.