Bisak Bisik #1 : Inklusivitas Bobrok, Wujud Inkompetensi yang Disengaja | by Danumurti | Oct, 2025

Babak hidup mahasiswa akan menjadi dinamika yang selalu dinanti-nanti oleh setiap insan muda, terutama mereka para petualang dari seluruh penjuru negeri. Banyak harapan dan doa tersematkan dalam benak setiap diri, tentang potret bagaimana hidup berdinamika di lingkungan universitas bukan hanya periode menggelorakan masa muda tetapi lebih jauh sebagai wadah konstruksi awal individu untuk menjadi versi terbaik dari dirinya.
Sebagai mahasiswa, setiap individu mempunyai hak yang sama untuk mampu memupuk diri lewat dinamika multidisiplin dan realitas tak berkiblat guna menyongsong masa depannya dengan lebih baik. Sebagai mahasiswa, mereka punya hak agar versi terbaik dari dirinya sendiri untuk diusahakan, dicapai, dan dirayakan sebaik-baiknya, tanpa ada intervensi mengikat dari pihak-pihak eksternal dalam bentuk apapun. Lalu bagaimana merealisasikan konsep ini? Kunci sederhananya adalah INKLUSIVITAS dengan upaya memberdayakan setiap individu dengan kesempatan yang sama, terlepas dari ketidakmampuannya dalam bidang terkait, toh kita sama sama belajar bukan? Namun, pertanyaannya adalah : Apakah sudah ada pihak yang mampu menampung? Atau justru masih ada pihak yang mengeksklusi partisipasi atas dasar “kekeluargaan” dangkal?
Dalam setiap kehidupan yang terstruktur, akan selalu ada pihak yang bertanggung jawab atas dinamika sosial suatu lingkungan tersempit maupun terluas dalam satu instansi. Lewat program kerja dan kementerian-kementerian terpadu, mereka bergerak sebagai suatu badan eksekusi yang berkomitmen untuk bekerja atas nama instansi dan kelangsungan kehidupan para masyarakatnya agar selalu sepadan dengan janji-janji pengikat untuk menciptakan lingkungan ekspresi, aktualisasi, dan implementasi inklusif bagi semua. Sayangnya, tidak semua pihak mempunyai kapasitas untuk mewujudkan itu, tidak semua kompeten melihat lebih jauh secara rasional dan objektif sekaligus mengemban tanggung jawab moral yang luas biasa besar ini.
Aku ingin berbicara mengenai Mendes, sosok yang menjadi pelopor dan wujud emosi serta alasan mengapa hal ini patut dipandang secara rasional. Mendes adalah seorang pelajar anyar di suatu perguruan tinggi ternama, menurutku ia adalah sosok yang punya bakat didukung oleh segudang prestasi mentereng dengan namanya terukir di setiap sudut rumahnya. Akhir-akhir ini ia berkeluh kesah tentang bagaimana oknum “internal” dalam internal yang justru menutup pintu kesempatan baginya untuk menyalurkan minat dan bakatnya di suatu bidang.
Mendes menuturkan bahwasanya dalam setiap tahun akan selalu diadakan perlombaan cukup bergengsi bagi para mahasiswa terutama mereka angkatan bungsu untuk menyalurkan minat dan bakatnya untuk membanggakan nama fakultas. Untuk mampu berpartisipasi, setiap fakultas hendaknya mengirimkan kontingen kualitas terbaik guna berlaga di ajang tersebut dan pihak yang bertanggung jawab atas seleksi dan kondisi para kontestan ini adalah mereka Para Badan Eksekusi, pihak yang menjadi garda terdepan. Apabila kita berpikir secara logis, kontestan perlu menggunakan metode penjaringan yang adil adalah membuka seleksi terbuka dan transparan guna mengkaji, mempelajari, dan mencari kualitas terbaik untuk mewakili nama fakultas. Namun kenyataannya, kesilapan berpikir justru terjadi dalam lingkungan prestige sebesar badan eksekusi ini.
Bagaimana kesilapan itu dapat didefinisikan? Mendes mengungkap bahwa metode yang ia jalani adalah seleksi eksklusif berbasis sistem kekerabatan “kekeluargaan” dangkal yang mengedepankan senioritas, bukan seleksi inklusif dengan acuan jelas dimana kualitas nyata sebagai kriteria dan bisa diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat (read : mahasiswa). Ironisnya, ia diseleksi hanya dengan prosedur mengumpulkan berkas yang akhirnya ditinggalkan menumpuk dalam tumpukan data digital tak tersentuh. Pada hari pengumuman kontestan yang mewakili fakultas pun tidak ada kejelasan dari mana hasil nama-nama terkait didapatkan. Ketika coba untuk diklarifikasi, penanggung jawab justru menyalahkan Mendes karena kesalahan input data, padahal namanya terpampang jelas dalam rekap yang sudah dipaparkan. Tanpa penjelasan, rubrik yang jelas, dan keputusan sepihak, jelas ini adalah upaya eksklusi sistematik. Lebih lanjut, kesilapan ini berubah menjadi kebobrokan setelah tidak ada upaya pertanggungjawaban lebih lanjut oleh Para Badan Eksekusi, dengan dalil bahwa internal punya sistemnya sistem sendiri secara turun-temurun.
“BASI! Argumen gak masuk akal!” emosi Mendes sangat tergambar dengan kebobrokan sistematik ini, respon yang diberikan tidak hanya menggambarkan pelepasan tanggung jawab tetapi juga wujud ketidakmampuan Badan Eksekusi mempertahankan martabat serta kewajibannya sebagai lembaga tertinggi di fakultas. Ia justru tunduk pada perspektif komunal yang dangkal, mengecualikan kepentingan bersama demi kepentingan satu pihak saja, KACAU.
Apabila kita refleksi secara mendalam, seringkali ucapan manis yang hendak coba direalisasikan adalah mengupayakan transparansi sembari menciptakan ruang inklusi bagi seluruh lapisan masyarakat. Rasanya mustahil apabila hal ini benar-benar diikhtiarkan oleh para eksekutor sebagaimana kita hari ini justru masih dipertunjukkan oleh ketidakadilan lewat kisah Mendes yang menjadi wujud nyata inkompetensi eksekutor dalam mengupayakan inklusivitas itu. Sebaiknya Badan Eksekusi jangan terlalu jumawa dan bicara banyak mengenai inklusivitas apabila dalam internalnya justru terjadi autokrasi terselubung yang disiasati dan dilegitimasi oleh anggotanya. Berbenah dan menunjukkan aksi nyata adalah salah dua hal yang sebaiknya dieksekusi, bukan justru bersikap defensif dengan argumen yang menyudutkan dan menyalahkan pihak yang seharusnya turut diperjuangkan.
Bahan tulisan ini selayaknya dijadikan refleksi bersama untuk membenahi diri, apabila tulisan ini malah menjadi alasan pihak eksekutor atau para “internal” untuk mengeksklusi atau bisa dikatakan “memusuhi” satu pihak yang mencoba bersuara, justru itulah letak inkompetensi yang sudah dijelaskan sedari tadi. Maka dari itu, mari bersama berbenah demi lingkungan yang lebih inklusif dan meninggalkan praktik atas dasar perspektif komunal pemberi untung pihak-pihak tertentu saja. Tulisan ini adalah ajakan refleksi bersama bukan sekedar kritik pedas tanpa pijakan jelas.