Airport dan Rumah Sakit. Dua tempat dengan satu benang… | by Stella Andriana Putri | Oct, 2025

Dua tempat dengan satu benang merah..tempat paling romantis di dunia
Beberapa minggu lalu, saya menjemput dan mengantar kakak saya ke Airport. Saat dia pulang ke sini, saya dan ibu menunggu di gerbang kedatangan. Dan saat dia harus kembali, saya dan ibu mengantar di gerbang keberangkatan.
Selalu menyenangkan bisa ke airport. Rasanya seperti punya angan-angan, kapan ya saya yang berangkat? Atau saat menjemput, rasanya bahagia bisa bertemu dengan orang yang saya sayangi, yang tidak ditemui selama berbulan-bulan. Apalagi sekarang Airport Soekarno-Hatta dengan Terminal 3 yang ala-ala terminal airport paling modern, banyak kaca, banyak pesawat mondar-mandir, banyak kafe, dan lainnya.
Di airport sering sambil separuh bengong, saya mengamati banyak orang yang ada di dalamnya. Bukan pramugari/pramugara atau pilot yang menarik perhatian. Tapi orang yang menjemput, mengantar, menunggu, membawa koper. Menurut saya, di sini letak romantisnya.
Kok tiba-tiba romantis?
Iya. Karena di airport, kita bisa melihat semua orang mengekspresikan rasa sayangnya. Melihat orang tua yang berpelukan menjemput anaknya yang baru pulang dari luar negeri. Atau melihat seseorang berpelukan lalu menangis, harus berpisah lagi. Dipisahkan oleh geografi dan birokrasi yang berbeda (maklum Paspor Indonesia, masih belum sedahsyat Paspor Singapura). Jadi tidak ada namanya impulsif menyusul ke Paris, Jerman, atau ke Kanada, hanya bermodal satu paspor.
Di balik pelukan, tawa, tangis, semuanya mendadak ekspresif. Kita seperti tenggelam dalam dunia kita sendiri. Ketika bertemu dengan orang-orang yang kita sayangi, atau harus berpisah dengan mereka yang mau pergi menjelajahi belahan bumi lain. Semuanya tenggelam dalam keromantisan itu. Dan saya tenggelam dalam pemandangan yang saya lihat.
Saya tersenyum, ketika melihat ada anak yang dijemput papa-mamanya, atau ada seorang istri yang dijemput oleh suami dan anak-anaknya.
Saya juga menangis, saat harus berpisah dengan kawan atau kakak saya yang saya antarkan ke gerbang keberangkatan Internasional itu.
Eits, tapi apa hubungannya dengan Rumah Sakit?
Rumah sakit selalu menjadi tempat yang spesial bagi saya. Bukan sekedar menunaikan kewajiban, mencari kasus, belajar dari rekam medis, jaga malam, dan memantau monitor atau ventilator pasien..
Tapi saya rumah sakit selalu menjadi tempat untuk memahami emosi dari pasien dan keluarganya, sejawat, perawat, dan semua yang ada di dalamnya.
Sama seperti di Airport, di rumah sakit, hal yang romantis selalu bisa ditemui.
Saya ingat dulu ada seorang pasien, ibu-ibu sekitar 60 tahun lebih. Saya pernah melihat ibu ini waktu jaman covid. Jadi beliau saat itu masih sadar, terdiagnosa MDS / Myelodisplastic Syndrome saat di usia tua. MDS adalah kondisi ketika sumsum tulang kita tidak dapat memproduksi sel darah sehat yang cukup. Karena faktor usia lanjut, ada MDS, dan positif COVID pasien pun kita rawat untuk perbaikan kondisi. Di sebelahnya, selalu ada suami. Si Bapak ini pintar, hafal dengan semua penyakit istrinya. Hafal perjalanan penyakitnya. Sungguh memudahkan kami dalam menganamnesis. Tapi juga menjadi perhatian karena keluarga yang cukup kritis.
Singkat cerita, karena diperberat dengan kondisi MDS dan setelahnya diketahui pasien ada masalah Diabetes dan sakit jantung, pasien berulangkali masuk rawat inap, dan kondisi semakin berat karena komplikasi multipel (gagal ginjal, dan lainnya), pasien jatuh dalam kondisi koma dan akhirnya paliatif.
Saya ingat, waktu itu shift terakhir saya dan saya yang kebagian mengedukasi keluarga bahwa kondisi Ibu sudah masuk dalam kondisi paliatif. Apabila dipaksa cuci darah dan lain-lain, maka risiko perburukan hingga meninggal dunia bisa terjadi. Belum lagi perdarahan, karena komposisi trombosit yang cenderung rendah (tidak mencapai 60.000) yang meningkatkan risiko perdarahan.
Si Bapak hanya berkata pelan.. “Jadi, menurut dokter bagaimana..?”
Dengan kemampuan saya yang ala kadarnya, saya hanya mampu menjelaskan pro dan kontra cuci darah, perjalanan penyakit, dan lainnya. Sampai saya edukasi mengenai DNR / Do Not Resuscitation. Yakni ketika kondisi ketika pasien dalam kondisi paliatif, maka keluarga berhak memutuskan untuk tidak melakukan tindakan maksimal (Resusitasi Jantung Paru dan Intubasi) bila pasien mengalami kondisi perburukan (tensi turun, detak jantung menurun, dan lainnya). Edukasi ini wajib kami jelaskan, agar keluarga pasien mengerti kondisi dan langkah apa yang mau diambil.
“Pak, Ibu saat ini koma karena kreatinin dalam darah sudah terlalu tinggi. Mungkin bapak sudah dijelaskan berulang kali oleh teman-teman saya yang lain. Penyakit ibu dan serangan Covid, ditambah sakit lainnya memperburuk kondisi ginjal. Akibatnya kreatinin menumpuk, dan kesadaran Ibu menurun.
Bapak juga tentu tahu, risiko maksimal cuci darah dan lainnya. Apabila bapak memutuskan untuk usaha maksimal, maka kita usahakan maksimal. Walau secara prognosis, atau ke depannya, apabila di resusitasi maupun diintubasi, tidak memberikan hasil yang baik. Karena kondisi yang sudah terlalu berat. Risiko patah, perdarahan, hingga kegagalan resusitasi.” Saya jelaskan kurang lebih demikian.
“Jadi saya hanya menunggui istri saya tanpa apapun ya dok? Dia ini belahan hidup saya, Dok.” ujar si Bapak. Saat itu di tengah shift, tentu saja mengedukasi beliau bukanlah hal yang mudah. Bapak lalu berkonsultasi apakah DNR atau maksimal dan lain-lain.
Intinya dengan berat hati, beliau memilih DNR. Karena tidak mau menambah beban bagi istrinya.
“Bapak, DNR bukan berarti bapak menyerah. DNR artinya kita sudah berusaha semaksimal yang kita bisa. Karena kita tahu bahwa beban penyakit ibu tentu sudah terlalu berat. Saya dan teman-teman pasti akan selalu memantau, Pak. Bukan berarti DNR artinya lepas tangan. Sekarang, Bapak tetap berdoa dan temani Ibu ya, Pak” ujarku pada si Bapak.
Bapak hanya menghela napas. Dan memutuskan tidur di kursi, dekat dengan istrinya.
Hal-hal seperti itu adalah hal romantis yang sering saya lihat ketika berpraktik. Mereka semua, keluarga pasien, pasien sendiri, selalu berani menunjukkan rasa sayangnya di hadapan kami. Menyuapi, kadang juga memarahi dokter atau perawat ketika merasa pasien tidak mendapat pelayanan yang sesuai. Tapi, itulah bukti sayangnya. Setelah saya pikir lagi, saya rindu pada kondisi tersebut. Saya bisa belajar mengenai penyakitnya, dan bagaimana mengatasi emosi pasien-pasien saya.
Walau jujur, seringkali saya juga menangis ketika akhirnya pasien saya berpulang, ketika saya gagal melakukan resusitasi atau intubasi, dan hal-hal lainnya. Dan seringkali saya bersyukur, ketika saya diberikan kemampuan untuk membantu pasien saya terlepas dari kesakitan atau penyakit yang mereka alami, walau status saya hanya menjadi seorang dokter jaga.
Romantis adalah ketika kita melihat perwujudan rasa sayang itu. Lewat doa yang dipanjatkan, lewat pelukan yang diberikan, lewat tidur di sebelah bed untuk saling menjaga dan menguatkan, lewat tangisan dan hiburan.
Romantis tidak melulu kita lihat di rumah, di rumah ibadah, atau di kafe dan lainnya. Kadang, di tempat ketika seseorang bisa mengerti dan merasakan makna “ada” untuk satu sama lain, disitulah letak romantis.
Selamanya airport dan rumah sakit memiliki sisi romantis tersebut. Benang merah yang menunjukkan ketika manusia bisa berada di titik terlemah, dan titik paling bahagia, dan tidak malu untuk mengekspresikannya.
Dua-duanya, favorit saya..