12 Hari di Tanah Suci. Terhitung dari 14 Juli lalu, aku… | by Aisyiyah | Aug, 2025

1EXe8MZEiBmGv3rDH 32DNA.jpeg

Terhitung dari 14 Juli lalu, aku memiliki kisah yang tidak akan pernah bisa dilupakan.

Ini adalah kisah perjalananku, beserta tips-tips dan informasi yang ingin ku bagikan kepada pembaca semuanya.

*Wajah-wajah yang ada disini sengaja di tutup demi privasi jemaah.*

Umrah.

Sebelumnya, pada tahun 2023, aku diajak untuk berangkat Umrah. Tetapi, hati ku ragu saat itu. Rasanya banyak sekali dosa yang ku miliki, dan belum pantas menunjukkan diri ini ke tanah suci. Meskipun begitu, aku berupaya untuk memperbaiki diri, muhasabah, dan solat taubat, berharap bisa di undang secara langsung kesana.

Alhamdulillah, beberapa waktu kemudian, hati ku tergerak untuk berangkat Umrah. Aku diundang, pikir ku saat itu. Kebetulan, hati ini juga rasanya ingin sekali meluapkan, menceritakan semuanya kepada Sang Maha Pencipta langsung di hadapan Ka’Bah.

Aku pun menelepon Mama, dan mengatakan bahwasanya aku ingin berangkat Umrah. Atas izin Allah SWT, kami mendapatkan travel yang bertanggung jawab terhadap jadwal keberangkatan, persiapan, manasik, dan ilmu-ilmu yang akan disampaikan kepada jemaah. Mari ku jabarkan sedikit sebelum masuk dalam kisah di Madinah dan Mekkah.

Cerita Awal
Awalnya, perkiraan Umrah dilaksanakan pada bulan Februari. Aku pun sudah mulai mempersiapkan apa-apa saja yang harus dibawa ketika nanti. Tak lama setelah mendengar berita tersbeut, hati ini mengisyaratkan, sepertinya jadwal Umrah akan diundur. Ternyata benar, diundur menjadi bulan April. Aku tidak kecewa, sebab pikiranku saat itu, bulan Februari masih dingin. Otomatis, akan butuh lebih banyak pakaian agar tubuh ini tetap hangat. Tapi, bagaimana nanti di malam hari yang jauh lebih dingin? Apa aku tetap harus mengenakan banyak sekali pakaian sebelum tidur?

Aku juga bersyukur jadwal Umrah diundur, karena aku masih belum belajar banyak hal. Jadi, waktu yang diberikan bisa ku manfaatkan untuk menyelesaikan beberapa urusan, memantapkan hati, dan memperbanyak ibadah.

Bulan April sudah tinggal beberapa hari lagi, dan kami kembali di kabarkan, bahwasanya jadwal berangkat akhirnya dipastikan terlaksana pada pertengahan bulan Juli. Aku kembali bersyukur. Sebab, aku mendengar berita bahwasanya Negara Iran dan Israel sedang memanas, jadi bisa saja berisiko kepada jamaah yang sedang berangkat ke Timur Tengah.

Waktu ternyata berjalan cukup cepat, dan bulan Juni sudah mulai dilaksanakan manasik setiap hari Minggu sebanyak 4 kali. Selain disampaikannya ilmu yang harus dipelajari, baran apa saja yang perlu dipersiapkan, para jamaah beserta tour leader diminta untuk vaksin meningitis dan juga polio.

Penyakit
Meningitis merupakan peradangan yang terjadi pada selaput pelindung otak dan sumsum tulang belakang, yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, dan jamur. Gejalanya diantaranya adalah demam tinggi, sakit kepala berat, mual dan muntah, dan sensitif terhadap cahaya.

Sementara itu, Polio adalah kondisi dimana terjadinya radang pada sumsum tulang belakang oleh virus yang membuat penderitanya menjadi demam, sakit kepala, muntah, dan kelelahan.

Tentu saja, pola hidup sehat bisa membantu menghindari dari penyakit ini. Tour leader pun menyarankan vaksin juga untuk membangun imun tubuh, agar selalu sehat selama ibadah sampai pulang lagi ke Indonesia untuk melanjutkan aktivitas masing-masing.

Kembali ke Cerita Utama
Setelah manasik terakhir dilaksanakan, para jemaah pun diminta untuk mengantarkan koper besar yang sudah diberikan sebelumnya ke kantor travel, agar para jemaah hanya fokus pada koper kecil beserta barang bawaan lainnya, sementara koper besar akan diurus duluan agar bisa masuk bagasi pesawat.

Deg-degan? Tentu saja. Rasanya seperti mimpi. “Ya Allah, aku beneran berangkat Umrah ya? Begitu lah isi hati ku saat itu. Semoga umrah ini mabrur dan bisa mengubah hidup ku menjadi lebih baik, dan beban yang selama ini ku tanggung, bisa lepas dan aku bisa melanjutkan hidup tanpa bayangan masa lalu, tambahku lagi.

Setelah mengantarkan koper ke kantor travel, kami kembali diingatkan untuk menjaga diri agar tetap sehat sebelum hari keberangkatan. Aku pun memutuskan juga mengurangi aktivitas dan istirahat yang cukup.

Hari ini akhirnya tiba. Seluruh jemaah sudah berkumpul di bandara dengan baju batik dari travel yang sudah di jahit sesuai dengan model masing-masing. Ada yang tampak santai, ada yang bercerita dengan keluarga yang mengantarkan, dan anak-anak berlarian sambil menunggu informasi selanjutnya. Aku sendiri, memerhatikan semuanya, dan berusaha menenangkan perasaan yang campur aduk. Bahagia, cemas, terharu, dan gugup bercampur menjadi satu. Untunglah kami langsung disibukkan untuk mengambil boarding pass, scan barang-barang yang dibawa sampai duduk di ruang tunggu.

Sebenarnya, ada sebuah momen ketika kami hendak memasuki pesawat. Yah, lebih tepatnya adalah kurangnya koordinasi antara petugas yang mencetak boarding pass dengan petugas boarding gate mengenai kartu kuning. Katanya sih kartu kuning ini berisikan informasi mengenai vaksinasi yang telah dilakukan oleh jemaah, dan petugas ini ingin mengecek kartu tersebut. Tapi, karena kartu itu sudah diserahkan di petugas sebelumnya, alhasil tour leader harus bolak-balik.

Kesal? Tidak, aku cuma capek saja harus bolak-balik duduk dan berdiri. Tapi, setelah menenangkan diri, ku anggap ini adalah cara bagaimana Allah SWT meminta ku untuk sabar, karena kami pasti berangkat.

Aktivitas di Pesawat
Setelah kartu kuning di dapatkan, semua jamaah berhasil masuk dan duduk di kursi yang sudah di tentukan dalam boarding pass, dan perjalanan panjang di udara pun di mulai. Pesawat kami adalah Lion Air Boeing 777 dengan lorong ganda, yang bisa memuat banyak penumpang yang akan berangkat Umrah. Betapa terharunya diri ini, melihat pesawat yang dipenuhi oleh jemaah dari berbagai usia, siap untuk beribadah di tanah suci.

Setelah duduk dengan nyaman dan mengenakan sabuk pengaman, pesawat pun siap untuk terbang. Tour leader juga memandu kami membacakan doa safar, yaitu doa yang diucapkan ketika kita akan bepergian jauh. Setelah pesawat akhirnya mengudara, ada satu pikiran yang muncul. Ujian pertama untuk diri ku sendiri sudah dimulai. Duduk dalam jangka waktu lama, akses internet terbatas, dan pemandangan awan menemani perjalanan kami bukan masalah besar, kecuali satu hal: keinginan buang air.

Bisa nggak aku menahan sampai di Bandara Internasional King Abdulaziz? Tapi, kalau ditahan, pasti rasanya nggak nyaman karena posisi duduk juga memengaruhi, terlebih jika aku ingin buang air kecil.

Beberapa jam pertama, aku masih bisa mengendalikan tubuh agar tidak gampang buang air. Namun, setelah diberikan makanan berat dan menghabiskan minum yang diberikan, tubuhku mulai memberikan sinyal. Akhirnya, dengan memberanikan diri menggunakan kamar mandi pesawat, aku pergi sambil membawa tissue basah.

Alhamdulillah, overthinking-ku tidak kejadian. Toiletnya bersih dan tidak meninggalkan aroma apapun. Aku pun kembali ke kursi dengan perasaan tenang, dan beristirahat sampai akhirnya tiba di Bandara Internasional King Abdulaziz.

Karena adanya perbedaan waktu, dimana waktu Arab Saudi (AST) lebih lambat 4 jam dari Waktu Indonesia Barat (WIB), aku akan menggunakan waktu setempat agar lebih mudah dimengerti.

Keberangkatan dari Indonesia sekitar pukul 12 siang WIB, dan kami sampai di Jeddah pukul 5 AST seingatku. Jadi, kami solat jama’ taqdim qashar di atas pesawat. Segala urusan paspor dilalui dengan lancar, kami duduk di ruang tunggu sampai bus yang mengantarkan ke hotel tiba. Namanya adalah: Sanabel Al Madina Hotel yang ada di Madinah, dekat dengan Masjid Nabawi.

Menuju Madinah
Perjalanan dari bandara menuju Madinah memakan waktu kurang lebih 4 jam, ditambah jam istirahat. Bus mulai meninggalkan bandara sekitar pukul 7 malam, dimana langit masih cerah dengan cahaya jingga keunguan, seolah menyambut kami dengan hangat, setelah dilepas oleh Indonesia dengan hujan yang cukup deras dari subuh.

Makan malam di bagikan. Nasi dengan telur balado, kacang panjang, dan potongan ayam menjadi lauk yang nikmat. Beberapa jemaah termasuk aku menikmati makan malam, sementara beberapa jemaah lainnya melanjutkan istirahat sebelum menghabiskan makanan.

2 jam berlalu dan bus berhenti agar kami bisa melaksanakan solat jama’ takhir qashar di mushola yang bersih dan air yang cukup hangat. Tak lama, bus kembali melanjutkan perjalanan sementara seluruh jemaah diminta untuk istirahat.

Sekitar pukul 1 dini hari, akhirnya bus sampai di hotel, dan betapa bahagianya hati ku melihat hotel yang indah, bersih, dan dekat dengan masjid Nabawi. Setelah mengambil koper dan masuk dalam kamar, aku langsung menyiapkan pakaian untuk besok dan menikmati air hangat di seluruh tubuh sebelum beristirahat di atas kasur yang empuk.

Aktivitas hari pertama di Madinah adalah mengelilingi area Masjid Nabawi, dimulai dari pintu masuk terdekat dari hotel, yaitu pintu 338. Pintu 338, atau pintu romantis kata orang, sebab yang sudah berkeluarga, biasanya akan bertemu di pintu ini untuk berjalan bersama-sama kembali ke hotel.

Semua jemaah telah berkumpul di lobby hotel dalam keadaan sudah berwudhu dan sarapan, tour leader mengajak kami ke sebuah pelataran yang cukup luas, dilengkapi dengan bingkai persegi yang cukup besar, membelakangi Masjid Nabawi. Disana, kami berfoto bersama, dilanjutkan dengan berfoto antar keluarga, seolah kami benar-benar ada di dalam bingkai raksasa berlatar masjid. Lokasi tersebut cukup ramai meskipun kami sudah datang pagi hari, pasti dari jemaah yang baru saja pulang solat subuh dan orang-orang yang ingin menikmati udara pagi yang masih sejuk.

Press enter or click to view image in full size

Dokumentasi pribadi. Orang di dalam foto ini adalah aku dan mama

Setelah berfoto-foto, kami pun pergi untuk melihat masjid-masjid yang ada di sekitar Masjid Nabawi, seperti:

  1. Masjid Ali bin Abi Thalib
  2. Masjid Ghamamah
  3. Masjid Abu Bakar
  4. Masjid Imam Bukhari

Pertama kali aku melihat masjid Imam Bukhari. Dijelaskan, bahwa Imam Bukhari mengumpulkan hadis-hadis Nabi di dalam rumahnya, dan rumah tersebut kemudian diubah menjadi masjid dengan nama yang sama. Jika kalian ingin ke masjid ini, pintu terdekat adalah pintu ke-26.

Masjid kedua yang kami kunjungi adalah Masjid Ali bin Abi Thalib. Salah satu hal unik yang ku perhatikan disini adalah, tidak adanya burung merpati yang hinggap di kubah masjid ini, seperti masjid-masjid lainnya termasuk Nabawi. Hal ini dijelaskan, dulu Ali bin Abi Thalib adalah seseorang yang sangat sangat mencintai istrinya, sehingga istri tersebut tidak boleh terlihat oleh orang-orang. Selain itu, lokasi masjid ini berada di titik luar Masjid Nabawi, karena sahabat Nabi ini adalah sosok yang ditakuti dan pemberani, sehingga ia memutuskan untuk berada di area terluar atau saf belakang untuk menjaga dan melindungi saat dilaksanakannya solat di area tersebut.

Press enter or click to view image in full size

Dokumentasi pribadi Masjid Ali bin Abi Thalib

Masjid ketiga adalah Ghamamah atau masjid awan, yaitu tempat dimana Nabi berdoa agar diturunkan hujan. Selain itu, dulu ketika Nabi sedang melaksanakan solat Ied, awan mendung berada di area ini. Oleh sebab itu, didirikanlah masjid ini dan diberikan nama Masjid Ghamamah.

Masjid terakhir adalah bangunan yang awalnya merupakan rumah dari salah satu sahabat Nabi, yaitu Abu Bakar As-Shiddq r.a. Masjid ini terletak di area bagian belakang Masjid Nabawi dan bisa ditempuh dari pintu ke-26. Apabila hotel kalian ada di sekitar pintu 338, pastikan mengenakan topi dan kacamata hitam karena cuaca yang cukup panas dan perjalanan yang tidak singkat dari pintu tersebut.

Press enter or click to view image in full size

Dokumentasi pribadi Masjid Abu Bakar As-Shiddiq

Setelah kami berfoto di Masjid Abu Bakar, seluruh jemaah kembali ke hotel sambil berjalan di atas lantai yang terasa sangak sejuk meskipun panas sudah mulai terasa. Memang lantai masjid disini didesain khusus agar tetap dingin, jadi para jemaah yang tidak dapat shaf di bagian dalam masjid bisa tetap khusyu untuk melaksanakan solat berjemaah. Kami pun melihat masjid dengan kubah hijau di dalam area masjid, dan dikatakan bahwa disana adalah tempat dimana makam Nabi Muhammad SAW berada, dan rumahnya bersama dengan istrinya Aisyah. Jika kalian ingin melihat kubah hijau ini, kalian bisa masuk dari pintu 37.

Press enter or click to view image in full size

Dokumentasi Pribadi Kubah hijau di Masjid Nabawi

Tour leader kami menjelaskan, bahwa di kubah hijau itu adalah lokasi raudhah, dan jadwal kesana antar jemaah laki-laki dan perempuan memiliki jadwal yang berbeda hari, dimana jemaah laki-laki bisa langsung masuk dalam raudhah malam ini, sementara perempuan baru bisa melaksanakannya pada tanggal 18, meskipun jadwalnya sama-sama dilaksanakan pada malam hari. Hal ini karena pendaftaran melalui aplikasi Nusuk, dan antre bersama dengan jemaah umrah lainnya dari segala penjuru. Aplikasi ini membantu jemaah bisa masuk dalam raudhah dengan jumlah yang terbatas, demi meningkatkan kenyamanan dan menghindari jemaah berdesak-desakan saat melaksanakan raudhah tersebut.

Setelah informasi tersebut dijelaskan, para jemaah dibawa kembali ke hotel, dan kami bebas beraktivitas sekitar hotel dan masjid, entah untuk menghabiskan waktu di masjid, beristirahat di hotel, dan sekadar belajar ilmu baru.

Shopping
Sore hari, setelah mendapatkan informasi, bahwa besok kami mengenakan pakaian berwarna merah maroon, aku dengan Mama memutuskan untuk belanja abaya di area masjid yang merupakan langganan dari travel kami. Bahannya adem dan licin, sudah diberikan pashmina, dan tidak harganya sesuai kantong menjadi alasan kenapa tour leader mengajak kami kesana.

Sesampainya di toko, aku melihat banyak sekali baju yang modis dan longgar dengan berbagai macam warna, dan bordiran sederhana yang memberikan kesan mewah. Tentu saja, harganya pun bervariasi. Awalnya kami hanya ingin membeli baju maroon saja, berakhir dengan aku mendapatkan abaya putih dengan tali yang terjahit di kanan-kiri, motif bunga berwarna merah muda yang tidak mencolok, serta bordiran di bagian bawah menunjukkan kemewahan di atas kain putih itu. Mata ku tidak bisa bohong, dan aku yakin abaya tersebut pas dan cocok di badan, makanya aku memutuskan untuk membelinya, untuk dipakai nanti saat city tour.

Hari selanjutnya pun tiba. Jemaah yang masih bersemangat sudah berkumpul di lobby sambil menunggu bis yang akan mengantarkan kami city tour di daerah Madinah. Mengenakan pakaian maroon yang sudah dibeli kemaren, aku pun berfoto-foto menggunakan kamera handphone dan juga kamera klasik yang sengaja dibawa. Alasanku membawa kamera itu agar filmnya bisa dicetak dan memberikan nuansa nostalgia pada setiap foto.

Tujuan kami hari ini adalah pergi ke Masjid Quba, Jabal Uhud, dan Kebun Kurma. Perjalanan ini melewati masjid Bilal bin Rabah, yang terletak cukup jauh dari Masjid Nabawi. Bilal merupakan salah satu sahabat Nabi dengan tubuh yang kekar dan berkulit hitam, dulunya dia adalah seorang budak. Ia adalah seorang yang selalu dibicarakan orang-orang, bahwasanya Nabi mendengarkan suara sendalnya di surga di saat Nabi tengah melaksanakan Isra’ Mi’raj. Hal ini karena Bilal senantiasa menjaga wudhunya, dan selalu melaksanakan solat sunat wudhu, yang kemudian kita pun turut melaksanakan sebelum solat fardu. Cerita lain yang paling ku ingat dari Bilal bin Rabah, yang merupakan seorang muazin pertama adalah, ketika ia mengumandangkan azan setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Ia merasakan kerinduan dan kesedihan yang sangat mendalam, sehingga pada bagian “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah,” sangat sulit ia ucapkan. Begitulah dalamnya rasa sayang Bilal bin Rabah terhadap Nabi, yang menyayangi kita sebagai umatnya.

Masjid Quba
Setelah melewati masjid Bilal bin Rabah, bis melaju di jalan menuju Masjid Quba yang berjarak sekitar 10 menit dari Masjid Nabawi. Kami pun turun dan melihat banyak sekali jemaah dari berbagai negara datang kesini. Masjid yang berwarna putih dan indah ini, memiliki sumur tempat dimana cincin Nabi Muhammad SAW jatuh dan hilang sampai sekarang. Cincin tersebut dulunya digunakan sebagai stempel pada setiap surat, seperti stempel yang kita punya sekarang. Setelah Nabi wafat, cincin tersebut diwariskan kepada sahabatnya, sampai akhirnya cincin tersebut terjatuh ke dalam sumur, dan tidak pernah ditemukan saat dicari.

Press enter or click to view image in full size

Al-khatim

Selain itu, Masjid Quba merupakan masjid yang pertama dibangun oleh Nabi Muhammad SAW, yang turut meletakkan batu pertama dalam pembangunan masjid tersebut. Kami pun memasuki masjid tersebut dan melaksanakan solat tahyatul masjid sebanyak 2 rakaat, kemudian mendegarkan materi tentang Masjid Quba.

Press enter or click to view image in full size

Dokumentasi pribadi kubah Masjid Quba

Jujur, setibanya aku di setiap masjid pada tanggal 14 Juli dan hari ini, rasanya sejuk dan adem, meskipun matahari sedang terik. Entah karena doa dan prasangka ku, atau karena masjid adalah tempat segala doa dikabulkan. Tapi, rasa sejuk itu terus terasa setiap kali mengunjungi masjid, Alhamdulillah.

Jabal Uhud
Setelah berfoto-foto di Masjid Quba, perjalanan kami lanjutkan menuju Jabal (gunung) Uhud selama kurang lebih 30 menit, yaitu tempat dimana terjadinya perang Uhud antara Nabi Muhammad SAW dengan kaum kafir Quraisy saat menyebarkan agama Islam bersama dengan sahabatnya. Diceritakan, bahwa disini Nabi Muhammad SAW bersama pasukan hampir bisa memenangkan pertempuran, dimana pasukan kaum Quraisy berlari meninggalkan medan perang dan barang-barang yang mereka bawa. Kemudian, tim pemanah yang berada di atas bukit memerhatikan barang-barang tersebut, berniat untuk mengambilnya. Namun sayang, pasukan lawan yang bersembunyi memanfaatkan momen tersebut untuk menyerang dan mengalahkan pasukan Nabi Muhammad SAW. Salah satu sahabat nabi yang gugur dalam perang ini adalah Hamzah bin Abdul Muthalib.

Press enter or click to view image in full size

Dokumentasi pribadi Jabal Uhud. Sebelah kanan adalah makam para syuhada

Ustad yang ikut bersama kami dalam kegiatan ini juga menjelaskan, beberapa puluh tahun setelah perang Uhud, banjir besar melanda tanah Arab termasuk Jabal Uhud. Hal ini menyebabkan beberapa jenazah syuhada terangkat ke atas. Saat itulah terlihat, bahwa jenazah para syuhada masih dalam keadaan yang utuh, dan menguarkan aroma wangi dari tubuh mereka, bukan seperti aroma bangkai maupun mayat yang sudah lama terkubur selama puluhan tahun. Cerita pun ditutup dengan doa kepada para syuhada yang ada di Jabal Uhud, dan jemaah diperbolehkan menaiki kaki gunung Uhud yang cukup rendah dan biasa digunakan sebagai area berfoto bagi jemaah haji maupun umrah.

Hari sudah hampir siang, perjalanan dilanjutkan menuju Kebun Kurma, tempat dimana kita bisa mencoba berbagai macam jenis kurma, coklat, beserta kacang-kacangan yang ikut dijual disana.

Selama perjalanan, aku menikmati hamparan tanah dan juga gunung yang indah. Mungkin beberapa orang menganggap bahwa ini adalah pemandangan gersang, tidak ada yang dilihat selain pegunungan, pasir, dan sejenisnya. Tapi, bagi aku yang suka melihat dunia baru, pemandangan ini tidak bisa dilupakan. Bagaimana bisa, area seperti ini di huni oleh manusia, bangunannya bisa sangat kokoh, jalanan yang bersih dari pasir-pasir, makanannya variatif dan lain-lain. Zaman dahulu, bagaimana ya kondisinya? Saat para sahabat bersama Nabi hijrah dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan kuda. Bagaimana caranya menghadapi musuh, cuaca yang terik, dan memastikan ketersediaan pangan itu cukup untuk semua orang?

Akibat terlalu sibuk menjawab sendiri pertanyaan yang datang silih berganti, tak terasa bis sudah sampai di lokasi, dan bangunan 1 lantai itu tampak mencolok diantara pepohonan kurma yang sedang lebat buahnya. Kata tour leadernya, memang sedang musimnya sekarang buah-buah kurma, sehingga harus ditutup agar tidak dimakan hewan, atau rusak oleh hal lain.

Kebun Kurma
Kami disambut hangat oleh orang-orang yang bekerja disana, termasuk salah seorang dari Indonesia yang sedang menjelaskan sesuatu mengenai kurma yang tersedia. Di dalam gedung, mata ku langsung berbinar melihat banyaknya kurma yang tersusun rapi di atas meja yang sudah dimodifikasi dengan kaca transparan.

Sejauh yang aku tahu, kurma-kurma yang ada disana saat itu adalah:

  1. Kurma Deglet Noor, yang berwarna kekuningan dan bentuk yang lonjong
  2. Kurma Ajwa, berwarna gelap dan bentuknya bulat (jujur, ini adalah salah satu kurma favorit dan yang ku bawa ke Indonesia!)
  3. Kurma madu, sesuai namanya yang manis menyerupai madu
  4. Kurma Piarom, yang berwarna coklat tua hingga hitam dan bentuknya panjang serta tipis (aku tidak sempat mencobanya saat itu. Namun, banyak yang bilang bahwa rasanya unik, seperto karamel dan toffe, dan sedikit lengket karena kurma ini setengah kering)
  5. Kurmah Barhi, yang berwarna kuning dan ukurannya kecil. Ketika aku coba, teksturnya tidak lembut, tapi bukan yang keras. Contohnya seperti kamu memakan buah pir, pasti ada suara ‘crunchy’ saat menggigitnya, dan rasa manis langsung memenuhi indra perasa (aku juga suka ini, sayangnya aku lupa minta dibelikan. Bagaimana tidak, banyaknya kurma yang dihidangkan membuatmu bingung harus pilih yang mana)
  6. Kurma Safawi, berwarna sangat gelap dan isi yang berwarna sedikit coklat, dan ukurannya sedikit lebih besar daripada kurma lainnya. Tekstur luarnya basah menutupi tekstur dalam yang basah (bagian yang manis banget).

Bayangkan, betapa banyak kurma yang dihidangkan di hadapan mata mu kadang bisa membuat kalut. Rasanya, kita ingin membeli semuanya, apalagi jika rasanya cocok di lidah. Tapi, akhirnya aku hanya membeli kurma Ajwa, soalnya aku juga mau membeli oleh-oleh lain yang tidak kalah nikmatnya.

Di bagian sisi dalam bangunan, terdapat stand yang menjual berbagai macam coklat. Ada coklat yang dibalut dengan irisan daging kelapa, coklat susu yang sangat lembut dan tidak terlalu manis, coklat isian karamel dan biskuit, coklat isian kismis, coklat kacang, coklat isian rice krispies mix dengan bahan lainnya, dan lain-lain. Kami juga diizinkan untuk mencoba 1 dari setiap macam coklat agar mudah memilih ingin membeli yang mana. Setelah mulai overwhelmed lagi dengan banyaknya varian, akhirnya aku membeli coklat yang tidak mengandung banyak kacang sebanyak 1 kg.

Puas menikmati coklat, aku pergi ke tempat aneka macam kacang, dan tergiur dengan hazelnut beserta almond. Sayangnya saat itu kami tidak bisa membeli yang ukuran kecil, mungkin stoknya habis oleh pengunjung sebelumnya. Akhirnya, aku membeli 2 botol kacang mix, di dalamnya terdapat kismis, kacang almond, pistachio, kurma yang dikeringkan, walnut, dan kacang mete.

Terakhir, aku mengunjungi stok makanan ringan yang sayangnya tidak ku foto, keasyikan cemilin! Bumbunya tidak terlalu banyak sampai bikin batuk, dan jenisnya pun banyak. Aku kembali memesan makanan ringan itu sebanyak 1 kg.

Cerita sampingan saja. Saat aku hendak membayar di kasir, 2 botol kacang-kacangan itu di gratiskan oleh kasirnya, dan kami disuruh langsung pergi begitu saja. Padahal, harga 1 botol kacang itu 15 riyal atau sekitar Rp65.000.

Puas belanja di dalam gedung, kami berjalan ke pintu belakang dan keluar menuju tempat jual parfum, mainan, abaya, dan bakso viral yang harganya Rp100.000. Kalau kalian bertanya, apakah aku belanja lagi disana? Ya, aku membeli 2 parfum seharga Rp350.000 yang ukuran masing-masingnya 100 mL. Aromanya sangat enak, yaitu aroma pepohonan setelah basah oleh hujan, dan aroma manis seperti buah-buahan, tapi tidak terlalu menyerbak dan menyengat. Bahkan, aku dapat gelang gratis dari penjualnya.

Sebelum pulang ke hotel, kami makan bakso viral tersebut. Jujur saja, micinnya tidak sebanyak bakso yang biasa ku makan di Indonesia, khususnya di area aku tinggal. Tapi, aku bisa merasakan kesegaran dari bakso tersebut. Dagingnya yang tebal dan matang sempurna, toge yang segar, bersama dengan mie yang kenyal mengenyangkan, bahkan aku makan 1 porsi berdua dengan Mama.

Hari ketiga datang begitu cepat. Kami akan pergi ke percetakan Al-Qur’an! Kenapa aku begitu excited? Sebab ketika aku memegang Al-Qur’an di Masjid Nawabi, kertasnya licin tapi enak untuk dipegang, dan huruf-hurufnya jelas meskipun ukurannya kecil. Selain itu, kami bisa membawa pulang Al-Qur’an yang berukuran kecil tersebut ke tanah air.

Untuk jadwalnya memang terbatas katanya, dan aku pun memaklumi. Bisa dibayangkan percetakan buku biasa saja, kalau dipenuhi oleh banyak tamu, pasti kondisi percetakan tidak akan efektif, entah gangguan suara maupun gangguan lainnya. Ketika kami disana pun, hanya ada 2–3 rombongan termasuk rombongan kami yang datang ke percetakan tersebut.

Area percetakan tersebut cukup luas, dan kami hanya boleh memasuki 1 gedung yang dipenuhi oleh mesin dan juga kertas-kertas yang akan digunakan nanti. Saat masuk, ada area seperti lorong semi terbuka yang membuat kami para jemaah mudah untuk melihat lokasi pembuatan Al-Qur’an yang ada di bawah kami. Lorong yang cukup efektif, tidak terlalu jauh dari pintu masuk, dan tidak terlalu mengganggu area utama juga.

Setelah kami keluar dari gedung, para jemaah mengantre untuk mengambil Al-Qur’an yang ku jelaskan di atas. Ukurannya medium, bisa digenggam dengan satu tangan karena tidak terlalu besar, dan muat di dalam tas totebag yang disediakan dari travel.

Setelah berfoto di halaman depan area percetakan, perjalanan kami lanjutkan menuju bukit magnet atau disebut sebagai Jabal Magnet.

Oh iya, informasi sedikit, sopir kami hari ini adalah orang Indonesia, jadi kami pun cukup senang mendengarkan penjelasan bagaimana Jabal Magnet memengaruhi kendaraan maupun benda yang di taruh di area tersebut.

Jabal Magnet
Selama perjalanan, beliau menjelaskan, bahwa kendaraan yang bergerak menuju Jabal Magnet akan ditarik mundur, dan harus terus di-gas maju. Beberapa kilometer mendekati Jabal Magnet, bukan hanya pengemudi yang merasakan tarikan, melainkan juga penumpang merasa tubuhnya sedikit tertarik ke belakang. Tiba-tiba, sopir melepaskan kakinya dari gas, dan bus yang awalnya bergerak dengan kecepatan 60km/jam itu mulai melambat, sampai akhirnya sempat berhenti, lalu bergerak mundur. Aku yang kebetulan duduk di depan, tertarik untuk melihat dan menyaksikan sendiri bagaimana bus mundur dengan kecepatan yang semakin bertambah, sementara bapak sopir hanya duduk tenang tanpa melakukan apapun, sebelum akhirnya kembali menancap gas dan melaju menuju Jabal Magnet.

Sesampainya disana, area parkiran yang luas dikelilingi oleh bukit mulai terlihat. Bahkan, ada area bukit berwarna sedikit kehitaman, terlihat seperti lambang Allah dalam bahasa Arab (الله). Para jemaah turun bergantian, dan diminta berbaris untuk melaksanakan foto bersama, dan video 360°. Pedagang-pedagang yang ada disana menyaksikan kami dengan ekspresi tertarik, bahkan maskotnya pun turut hadir di dekat kami. Sayangnya, aku lupa meminta foto bersama maskot tersebut dan fokus dengan unta yang ada di lokasi tersebut.

Kami berjalan menuju pasar yang menyediakan oleh-oleh seperti tasbih tradisional, tasbih digital, abaya, buah-buahan, mainan, boneka, hingga makanan dan minuman ringan. Sudut mata ku melihat ada truk es krim, namun ku urungkan niat, karena setiap hari saat makan di hotel, aku selalu minum air mineral dingin, meskipun sudah meminum teh hangat.

Lapangan yang cukup luas membuat perhatianku terpusat kepada unta dan juga bangunan semi terbuka, dengan lantai yang dihiasi karpet dan sofa yang nyaman, serta dekorasi khusus untuk berfoto di sudut kiri bangunan. Di sudut itu juga ada satu ekor unta yang digunakan hanya untuk berfoto, bukan berkeliling.

“Ada yang mau naik unta?” tanya tour leader kami. Aku langsung mengangguk dan mengacungkan tangan. “Harga per orangnya 10 riyal ya.” Sambungnya. Karena aku naik bersama Mama, maka kami pun membayar 20 riyal.

Kalau kalian tanya, apakah aku takut menaiki hewan? Jawabannya tidak. Aku sudah pernah menunggangi kuda dan juga gajah. Setiap kali akan menunggangi kuda, aku selalu dinasehati untuk menenangkan diri, dan yakin bahwa mereka nyaman dengan kita. Sebab, perasaan manusia dengan hewan tersebut akan nyambung. Jadi, jika aku, atau hewan tersebut tidak nyaman dengan kehadiran satu sama lain, maka energi penolakan itu akan terasa.

Seekor unta yang sudah selesai berkeliling itu duduk menunggu giliran, aku bersama Mama pun bersiap-siap. Seekor unta yang duduk itu, kemudian mulai berdiri menggunakan kaki depannya, dilanjutkan dengan kaki belakang. Proses ini kadang membuat beberapa penunggang panik dan berteriak, sebab pergerakan unta ini membuat badan kita sedikit terombang ambing dari depan ke belakang. Untungnya, unta ini dilengkapi oleh pegangan dan sandaran, serta kain yang memastikan badan kami tidak gampang terjatuh. Kain tersebut juga mengurangi rasa sakit ke unta, sama fungsinya dengan pelana yang ada di kuda.

Setiap unta di area ini, memiliki 2 punuk, dan kami tidak duduk di punuknya, melainkan di lengkukan antara punuk. Perjalanan pun dimulai. Ternyata, cara berjalan unta itu berbeda dengan kuda, mungkin karena ukuran badan dan panjang kakinya pun berpengaruh. Rasanya, tubuhku berayun lebih kuat daripada saat menaiki kuda yang terasa seperti menghentak. Tungkai yang panjang itu melangkah dengan anggun di lapangan yang sudah disediakan, sambil dipandu oleh seorang yang memang bertugas mengatur jalannya unta.

Sekitar 5–10 menit kami berkeliling, perjalanan pun selesai, dan unta tersebut kembali duduk dengan anggun, dengan melipat kaki belakang terlebih dahulu, sebelum melipat kaki depannya. Aku pun mengucapkan terima kasih kepada unta tersebut, dan memotretnya. Ternyata, rasa sayangku membuat salah satu tour leader memutuskan untuk memotret kami, bahkan merekam momen dimana aku mengusap kepala unta tersebut sebelum berpisah.

Press enter or click to view image in full size

Dokumentasi pribadi berfoto bersama unta

Kami memasuki gedung untuk menyejukkan badan, sebelum menyewa pakaian yang ada disana dan berfoto-foto. Mengenakan kain hitam transparan dengan bordiran seperti emas, dan hiasan kepala yang membuatku seperti putri arab (katanya). Aku pun diminta berpose seolah hendak menuangkan teh di atas cangkir, memegang tongkat, dan candid, sementara jemaah lainnya berfoto di area berbeda, sebelum akhirnya kembali ke bus untuk menyelesaikan perjalanan.

Bus yang kami naiki kembali melewati Jabal Magnet, dan kendaraan melaju cukup cepat sampai dengan 100km/jam, sebelum akhirnya sopir memutuskan untuk menginjak rem secara teratur, agar bus tidak melaju sangat cepat. Kami pun kembali ke hotel.

Toko Serba 1 Riyal
Sore hari, setelah ashar, beberapa jamaah yang tertarik dengan lokasi serba 1 riyal, berangkat bersama tour leader. Lokasinya tidak jauh dari hotel. Tinggal berjalan menuju belakang hotel, kemudian ada eskalator kebawah, yang langsung menuju ke lokasi kami berbelanja. Alangkah terkejutnya aku melihat betapa ramainya lokasi tersebut, terutama dari para pembeli.

Barang-barang disini pun cukup lengkap, bahkan henna dan parfum mini untuk oleh-oleh pun banyak jenisnya. Sajadah dan baju untuk anak-anak juga tersedia. Jadi, kalian sudah tahu jawabannya. Aku kebingungan harus membeli apa, memutuskan hanya membeli sajadah dan tasbih saja, selebihnya kami hanya berkeliling untuk melihat.

Apakah benar semua barang harganya 1 riyal? Tidak. Tapi, kebanyakan barang-barang lain yang dijual disini memiliki harga yang lebih murah daripada tempat lain. Contohnya seperti toko serba Rp5.000 atau serba Rp35.000, dimana semua barang murah, tapi bukan berarti harganya dipangkas sama.

Sambil menunggu jemaah lain berbelanja, aku duduk bersama sebagian kecil jemaah lain, yang menunggu botol air mineral di dekat pintu masuk. Aku bertanya, dari mana datangnya air mineral ini?

Rasa penasaran digantikan dengan humor yang ditunjukkan salah satu tour leader yang menawarkan air mineral dengan aksen Arab-Indonesia, dan kadang dicampur denga bahasa daerah. “Halal halal.” Ujarnya sambil menyodorkan botol minuman kepada pengunjung yang baru masuk. Beberapa menolak dengan sopan, tapi banyak juga yang meminta lebih dari satu karena mereka juga merasa terhibur. Ternyata, tour leader ku dimintai tolong oleh salah seorang disana untuk membagi-bagikan air mineral tersebut. Setelah semua jemaah selesai berbelanja, kami kembali ke hotel untuk mengerjakan ibadah dan urusan masing-masing.

Hari terakhir di Madinah. Rasa sedih secara tidak sadar menggerogoti ku, ditambah malam ini, jamaah perempuan akan pergi ke Raudhah, lebih tepatnya sekitar pukul setengah 12 malam, sehingga jemaah sudah harus berkumpul satu jam sebelumnya di lobby hotel. Aktivitas ku sehari ini tidak akan ku bahas, karena aku akan menjelaskan bagian Raudhah-nya saja.

Raudhah, atau diartikan sebagai taman, adalah area yang ada di dalam Masjid Nabawi. Loaksinya ada di antara makam Nabi Muhammad SAW dan mimbarnya. Raudhah sendiri dijelaskan sebagai “Taman Surga” karena Rasulullah SAW bersabda, bahwa area ini adalah salah satu dari taman-taman surga. Penjelasan lainnya, Raudhah menjadi lokasi yang sangat dicari oleh umat Islam karena tempat ini menjadi salah satu tempat mustajab untuk berdoa.

Semua jemaah yang diminta mengenakan pakaian serba hitam sudah berkumpul di lobby. Tak lupa syal kuning khas dari travel dan id card menggantung di leher setiap jemaah, memudahkan kami menemukan satu sama lain. Tidak semua jemaah yang bisa ikut malam itu, seperti orang tua yang harus menggunakan kursi roda dan anak kecil tidak diikutsertakan oleh orang tuanya, karena mereka butuh istirahat.

Saat aku sedang duduk di lobby, kantuk langsung menghampiri. Rasanya, mata ku berat sekali, dan berkali-kali kepala ku tertunduk dan tertidur, sampai harus dibangunkan oleh jemaah yang duduk disampingku. Kantuknya bukan karena merasa lelah, tapi rasa nyaman dan tenang, sehingga mata ku terpejam begitu saja.

Syukurlah seorang guide datang, dan kami pun berkumpul di depan lobby untuk mendengarkan penjelasan umum dari masing-masing tour leader dan guide. Sepanjang mendengarkan penjelasan, ku gerakkan kaki dan menekan jempol ke bawah, agar tidak tertidur sambil berdiri, atau terjatuh saking ngantuknya. Setelah semuanya dijelaskan, kami pun berjalan beriringan menuju area pintu masuk raudhah.

Karena hari ini adalah hari Jumat, pelataran masjid dipenuhi oleh orang-orang yang menghabiskan waktu. Katanya, hari Jumat adalah hari libur bagi orang Arab. Makanya, ketika aku hendak solat Jumat di Masjid Nabawi, aku harus berangkat dari jam 10, agar bisa solat di dalam masjid. Alhamdulillah, bukan hanya di dalam, aku juga bisa solat di shaf paling depan.

Setelah kami sampai di lokasi dekat pintu masuk, tour leader meminta kami untuk duduk sambil menunggu jadwal. Sedikit-sedikit cerita tentang Nabi Muhammad SAW disampaikan, momen di dalam raudhah memenuhi pendengaran, dan rasa haru mulai memenuhi hati. Saat itulah, kami melihat seorang wanita dari sebuah keluarga tengah merekam kami sambil tersenyum. Sepertinya ia tahu kalau kami adalah jemaah umrah dan berasal dari Indonesia. Tak lama, seorang anak laki-laki berjalan bersama adik perempuannya, sambil membawa kantung plastik besar berisikan kurma dan coklat. Ia datang sambil tersenyum malu-malu, sementara adiknya tersenyum riang, membagikan coklat kepada kami semua, dengan memberikan isyarat agar kami mengadahkan tangan. Saat semua jemaah sudah menerima pemberian tersebut, mereka pun kembali ke orang tua mereka yang tersenyum. Aku pun memakan kurma tersebut sambil menikmati angin malam yang sejuk, menatap ke kubah hijau yang sangat dekat dengan tempat ku duduk.

Akhirnya, setelah menunggu, jadwal kami pun tiba, dan seluruh jemaah berjalan beriringan masuk ke dalam masjid, bertemu dengan jemaah lainnya dari berbagai negara yang sedang duduk menunggu antrean. Setelah melaksanakan solat tahyatul masjid, kami duduk menunggu panggilan dari azkar. Tidak butuh waktu lama, sekitar 10 menit, salah seorang azkar mengisyaratkan kepada tour leader dan guide, bahwa saatnya kami akan masuk. Jantungku mulai berdegup cepat, rasanya seperti bertemu dengan seseorang yang sudah menunggu kedatanganku lama sekali.

Aku terus berdoa di dalam hati, “Ya Allah, lancarkan proses ku memasuki raudhah. Jauhkan dari orang-orang yang suka sikut-menyikut, suka mendorong, menyela antrian. Serta lindungi badan ku agar tidak terinjak saat sedang sujud.” Doa itu ku panjatkan sampai akhirnya kami berhasil masuk dalam Raudhah. Kondisinya memang sudah penuh oleh jemaah lainnya, namun dengan kegesitan tour leader dan guide kami, para jemaah mendapatkan tempat di area di tengah-tengah sebelah kiri. Jemaah lainnya langsung mengambil tempat untuk solat, sementara aku dan Mama baru sadar bahwa kami sudah benar-benar tidak bisa bergerak sama sekali, sampai akhirnya guide kami memanggil dan aku langsung menggenggam tangannya, dan aku juga menarik tangan Mama.

Rasa Haru di Raudhah
Ternyata, kami dibawa ke tiang taubat, kata beliau. Aku langsung sujud disana, dan saat itulah air mataku mengalir sangat deras, walau aku tidak tahu mau menyampaikan doa apa. Rasanya, seperti yang ku jelaskan tadi, aku bertemu dengan seseorang yang sudah menunggu kedatanganku sejak lama, dan tetap menanti dengan tangan terbuka, walau kedatanganku belum pasti kapan. Rasanya, ketika aku sudah ‘sampai’, aku disambut dengan sangat hangat, diterima dengan tulus, dan rasa bahagia yang sulit dijelaskan, justru membuatku menangis. Akhirnya, kita bertemu.

Posisi ku rasanya seperti sedang menunduk sambil menyandarkan kepala di atas sesuatu yang hangat, lalu sebuah tangan mengusap bagian belakang kepala ku dengan lembut, sementara tangan lainnya mengusap pundakku ketika aku sedang menangis tersedu-sedu. “Iya, Aisyiyah. Sudah lama ya, kamu pendam semua itu di dalam hati kamu. Ceritakanlah semuanya, sampaikan doa kamu, aku disini mendengarkan.” Ibaratnya seperti itu, makanya air mata ku terus saja mengalir tanpa henti, sampai tanpa sadar mulutku terbuka, dan menyampaikan semuanya, seperti anak kecil yang rindu dengan seseorang yang selama ini ia cintai dan ia cari. Semua beban, kesedihan, kerinduan, luka, kecewa, apapun itu, ku sampaikan semuanya kepada Baginda Rasulullah. Selama ini, aku bersholawat, dan membayangkan bagaimana Rasulullah, betapa jauhnya jarak diantara kami, dan betapa sedihnya ketika aku sedang berdoa menceritakan hidupku saat masih di Indonesia, aku masih merasa jauh dengan Baginda. Kini, aku bersujud disini, menyampaikan ‘langsung’ tanpa ada jarak. Aku merasa dekat sekali, rindu yang selama ini tertahan, kini bisa disampaikan. Semua perasaan bercampur aduk. Saat itulah aku membayangkan tengah duduk bersama Baginda Rasulullah, di sebuah padang rumput yang luas, dan kami sedang berteduh di sebuah pohon yang sangat rindang, bayangan pohon itu melindungi kami dari cahaya matahari.

(Saat aku menuliskan bagian ini, air mataku kembali mengalir. Rasanya aku masih ada disana, tapi di waktu bersamaan aku rindu ada disana).

Setelah sujud yang pertama, kami pindah ke depan, aku lupa nama tiangnya apa, dan aku langsung melaksanakan solat sunah mutlak 2 rakaat. Air mata ku belum berhenti mengalir, justru semakin deras setiap kali bersujud, sampai salam, aku kembali sujud dan melanjutkan doa dan cerita ku. Disini aku kembali merasa benar-benar didengarkan, dianggap ada, tidak ada perasaan canggung dan takut saat ku sampaikan semuanya. Ternyata benar ya, saat kamu bercerita kepada tempat yang tepat, kamu tidak takut terhadap apa yang akan mereka lakukan kepada kamu, atau imbalan apa yang harus kita bayar. Sungguh, aku bersyukur bisa menyampaikan semuanya kepada Baginda Rasulullah, sampai 30 menit di dalam sana pun tidak terasa sudah berlalu.

Kami keluar dari Raudhah, dan aku masih terus memandang ke arah belakang sampai kubah hijau itu tidak terlihat lagi. Hati kecilku berkata, “Ya Baginda Rasul, 30 menit rasanya belum cukup untuk melepaskan rasa rinduku. Masih ada yang mau ku ceritakan, aku masih ingin merasakan kehangatan itu ya Rasul. Undang aku kembali kesini ya.Aku langsung memeluk tour leader ku sambil mengucapkan terima kasih karena sudah memudahkan dan mengabulkan permintaan jemaah bisa sampai disini.

Sayup-sayup ku dengar guide kami bercerita kepada tour leader, kalau beliau merasa senang bisa mengajakku dan Mama solat di tiang taubat, dan bahagia melihat antusias para jemaah untuk bisa sampai di Raudhah. Kami pun berpisah setelah kembali ke hotel, dan aku berterima kasih karena sudah dibantu, dibalas dengan pelukan hangat dari beliau (tour leader dan guide disini perempuan semua ya, soalnya sekarang adalah giliran jemaah perempuan pergi ke Raudhah).

Press enter or click to view image in full size

Dokumentasi pribadi setelah mengunjungi Raudhah.

Kami pun kembali ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri dan beristirahat. Sebab besok, tanggal 19 Juli, kami akan berangkat ke Mekkah, meninggalkan Madinah.

Perjalanan di Makkah akan dilanjutkan pada 12 Hari di Tanah Suci Bagian 2.

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *